BLACKBERRY, IPHONE, DST. LANTAS? SELEKSI.
Makin banyak yang bernafsu untuk inden iPhone 3G yang kabarnya seharga Rp 2 jutaan. Barang yang stylish dan berdaya tinggi. Bakal mengguncang pasar, karena harga produk sejenis masih Rp 4 jutaan. Bahkan iPhone 8 GB yang di-unlock masih di atas Rp 5 juta.
Bagi blogger, mungkin iPhone model anyar itu lebih menarik ketimbang BlackBerry. Menarik untuk mobile blogging. Menarik untuk pamer di blog (terutama pemilik awal). Menarik untuk ditunjukkan di kopdar.
Akhirnya, seperti lazimnya produk massal berteknologi digital, harga produk kian memurah. Itulah bedanya dengan benda masinal yang harganya cenderung tetap bahkan naik, kecuali dengan menurunkan kualitas bahan. Misalnya kendaraan, termasuk sepeda.
Lantas ketika, oh setelah, alat komunikasi yang andal, dan sophisticated, bahkan ber-kelas SOTA (sesaat), ada dalam saku kita, apa yang kita perbuat?
Jawaban mentah: buat komunikasi, dong. Dengan siapa? Ini persoalan setengah mentah setengah matang. Dengan siapa pun yang kita mau dan sempat berkomunikasi. Bisa juga dibaca: dengan siapa pun yang (sedang) sudi berkomunikasi dengan kita.
Manakala ponsel kian terjangkau, orang memiliki lebih dari satu. Pada gilirannya dia akan repot sendiri. Pemilahan demi pemilahan kontak, misalkan diikuti oleh penambahan alat, atau penambahan nomor (misalnya ada satu handset untuk 13 nomor GSM/CDMA), pun tak akan diimbangi oleh daya tahan dan kewarasan.
Tentu ada pengecualian. Orang itu mempekerjakan staf untuk menjawab semua panggilan telepon. Bagaimana memproses semua laporan, silakan berdenyut kepala.
Tak ada yang (terlalu) salah. Sudah jadi bawaan manusia untuk menyeleksi mitra komunikasi sesuai situasi, kondisi, dan kepentingan — bahkan sejak dulu ketika telekomunikasi belum ditemukan.
Karena itulah saya menghormati permintaan seorang teman yang tidak ingin menerima telepon di BlackBerry-nya. Tidak tegas dia mengatakan begitu. Dia hanya bilang, yang tahu nomor itu hanya istri, anak, dan sedikit orang.
Dia termasuk adopter awal BB, setelah sekian waktu membuang ponselnya. Setelah mendapatkan BB, mau tidak mau dia harus memasang kartu GSM. Kartu itulah yang dia pakai untuk ber-SMS, melengkapi BB untuk ber-surel (surat elektronik, e-mail) dan chatting.
Ketika sebuah peranti genggam bisa melakukan banyak hal, akhirnya kita hanya membutuhkan satu-dua fungsi. Selanjutnya pilihan kita hanyalah memiliki alat yang termurah atau yang termahal tapi miskin fungsi.
Celakanya, ponsel yang termurah pun akhirnya tambah kaya dan pintar. Yang termahal tapi miskin fungsi ya sebangsa Vertu seri tertentu itu.
Tak perlu seekstrem itu sih. Beli saja kita beli peranti standar. Kaya fitur ya kita terima saja. Soal pemanfaatan (baca: pengaktifan) ya sesuai kebutuhan. Orang lain juga akan paham, karena mereka juga (akan) melakukan hal yang sama.