SESEKALI LIHATLAH DENGAN HATI…
Bukan hal baru. Kita sama-sama jemu membahasnya. Bahkan untuk menjadikannya sebagai lelucon pun kita sudah tak sanggup. Soal apa? Pungli dan denda damai sebagai bagian dari megapuzzle bernama budaya korupsi.
Saya memergoki ini kemarin sore, di Jakarta Selatan. Tak saya dengar pembicaraan Pak Polisiwan dengan si korban (pelanggar). Hanya bahasa tubuh mereka, dengan adegan merogoh dompet dan penyerahan uang, yang menjelaskan. Semua yang melihat tahu. Para pelintas paham.
Begitu ada orang mendekat, apalagi bawa kamera, bahasa tubuh mereka berdua langsung membentengi diri, sorot mata pemangsa memancarkan tak hanya ketidaksukaan melainkan juga hawa perseteruan.
Itu wajar. Manusiawi. Setiap orang ingin terlihat baik dalam setiap momen.
“Cemban,” kata si korban sambil senyam-senyum, segera setelah Pak Polisiwan yang memasukkan buku tilang dan uang ke sepatu boot itu berlalu. “Tempo ari kena dua puluh (ribu),” katanya lagi.
Pak Polisiwan itu tak sendirian. Masih ada sejawat lain di korpsnya, dan juga di lingkungan kedinasan lain, yang terus melakukan. Tapi pernahkah kita membayangkan suasana hati istri dan anaknya ketika melihat suami dan ayah terpaksa melakukan itu?
Biaya hidup terus menanjak. Iklim koruptif kadung berbiak. Siapa yang tak ikut akan terinjak. Siapa yang tak turut, bahkan meskipun hanya berdiam diri, akan dianggap sok suci. Ketika kesulitan keuangan tiba, dan si lempang butuh bantuan, oleh korpsnya dia akan dipersalahkan, dan dicaci.
Uang belanja dapur. Ongkos sekolah anak. Rumah kontrakan bagi yang tak kebagian mess. Itu semua biaya. Gaji resmi tak mencukupi. Alam koruptif memberikan solusi. Teladan dari atasan adalah fatwa.
Tak jarang atasan di lingkungan koruptif mana pun, secara hirarkis, juga nemungut dari aras bawah. Rupiah yang dikais, atau malah diraup, dari hiruk-pikuk jalan raya berasap dan berdebu, juga berujung pada setoran internal.
Biaya, biaya, dan biaya. Bahkan untuk diterima di sebuah lingkungan dinas pun tak jarang butuh biaya — padahal orang mencari pekerjaan supaya dibayar, bukan membayar.
Semua itu modal, harus dikembalikan. Modal pun kadang melibatkan keluarga besar, sejak awal rekrutmen hingga penempatan.
Apakah mereka, para pelaku yang kadang galak itu, melakukannya dengan girang hati dan bangga di dada?
Merekalah yang lebih tahu. Termasuk di antaranya adalah mereka yang memungut kotak korek api berisi duit, lemparan dari para sopir truk. Si pelempar melakukan rutinitas dengan umpatan di hati.
Saya tak hendak memperlebar masalah ke jaring laba-laba koruptif. Saya hanya membayangkan sekian keluarga dari orang-orang kecil, yang kepala keluarganya tak punya cara melakukan kenakalan elegan seperti para atasannya atasan-dari-sejumlah-atasan. Saya bayangkan simpan risih di hati istri-istri petugas pemungut. Saya bayangkan galau malu anak-anak petugas pengutip.
Dalam sebuah jalinan kerumitan besar nan sistemik — ya kultur korupsi itu — pelaku juga (boleh merasa) menjadi korban. Termasuk orang-orang terkasih di rumah.