ANTARA MEMBIARKAN TAHU SENDIRI DAN MENGAJARKAN…
Huh, bikin judul kok sekalian cari sensasi. Mana mengundang robot spammer lagi. Bahkan bisa saja (semoga tidak) terkena jerat hukum. Apa nggak ada kata-kata lain? Maafkan saya. Tahanlah kegusaran Anda. Izinkanlah saya bercerita tentang seorang ayah dan kedua putrinya. Setelah selesai membaca, tumpahkanlah kekesalan Anda.
“Mari kita lihat gambar,” kata si ayah, untuk memperjelas diskusi. Lalu dibukanya sebuah halaman web. Kedua putrinya, yang satu remaja, yang satunya lagi jelang akil balik, menyebut gambar itu “wawuk” dan vagina.
“Benar, Sayang,” kata si ayah. Dia tambahkan, “Yang tepat ini disebut vulva atau pukas. Tapi orang sering menyamakannya.”
Lantas pelajaran anatomi secara visual pun berlanjut. Klak-klik ke web dengan banyak penjelasan. Antara bingung, senyum geli, dan kaget, anak-anak mengikuti.
Semua ada namanya. Setiap orang punya. Dan sebaiknya dikenali dan dirawat seperti setiap orang memperlakukan lutut maupun telinga.
Bedanya, untuk genitalia penyebutannya tak seleluasa bagian tubuh lainnya. Setiap bahasa (dan kelompok penuturnya) mengatur kepantasan penyebutan seiring perkembangan zaman.
Memang penyebutan dengan istilah medis cenderung terasa lebih netral, tetapi tetap saja tak seleluasa penyebutan bagian lain. Buktinya pidato kepresidenan dan debat di DPR, atau headline koran, tidak pernah (atau jarang) menyebut itu.
Dalam forum domestik terbatas itu sang ayah juga memperkenalkan kosakata. Tentang vulva dan vagina, misalnya, orang sering manjadikannya sebagai paket. Maka dalam kehidupan sehari-hari ada istilah “me***” (tanya Daus — ada komentar saya di sana) yang dibelokkan menjadi “meki”. Orang Jawa menyebutnya “tu…” dan “tem***” — kabarnya sih kedua hal itu berbeda.
Bagaimana dengan klitoris? Sambil menunjukkan gambar,sang ayah menyebutkan padanannya, yaitu kelentit dan “i***”. Anak-anak melongo, menatap ayahnya, lalu kakak-adik saling pandang. Mereka belum pernah mendengar itu semua.
Diskusi berjalan lancar,dengan senyum dan kadang takjub. Tiada yang tabu. Begitu pula ketika membahas genital lelaki dan kopulasi. Tentang penis dan testis, anak-anak tahu. Hanya padanan katanya selain zakar dan titit yang mereka belum tahu. Misalnya “kon***”.
Padahal dari “kon***” dengan imbuhan “é” (artinya “nya”) itulah orang Jawa mengenal panggilan “tholé” yang disingkat “lé”. Adapun panggilan “wuk”, itu dari “bawuk” (wawuk).
Sperma? Mereka tahu. Mani? Belum pernah dengar, apalagi pe**h. Tapi untuk semen, mereka membayangkan bahan bangunan. Maka kesalahkaprahan pun diluruskan, dan lagi-lagi bertolak dari makna denotatif kata.
Seks, kata si ayah, itu nikmat dan indah. Tidak jorok. Nafsu adalah karunia Alam supaya makhluk hidup tak punah. Tapi tentang hubungan seks atau making love atau sanggama atau ngen**t, itu hanya boleh setelah dewasa karena orang dewasa bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Diskusi yang gayeng. Buku dan halaman web, termasuk wikipedia dan the-clitoris, banyak membantu.
Soal kecil tapi menggelikan adalah bagaimana dengan pipis? Lelaki dan wanita berbeda. Tapi jangankan anak kecil, wanita dewasa saja ada yang kurang begitu tahu ujung saluran luarnya. Maka apa boleh buat, mohon maaf, si ayah membukakan halaman web dewasa yang khusus memampangkan close up wanita pipis.
“Wow! Gitu ya?” tanya salah satu anak. Si ayah menjelaskan, letak genital yang tersembunyi memang mempersulit setiap orang untuk memeriksa. Sama seperti orang memeriksa punggung dan unyeng-unyeng. Maka selain dengan cermin, cara untuk mengenali adalah dari gambar.
Bila merujuk Ruth Westheimer, edukator seks abad lalu, maka sebaiknya wanita berterima kasih kepada model porno (dan medianya) karena membantu wanita lain mengenali genital kaumnya.
Si ayah menyatakan, genital lelaki lebih sederhana, relatif mudah untuk dilihat sendiri. Tapi si ayah mengaku, ketika masih kecil pipis bareng teman-temannyanya di pinggir selokan, mereka geli banget melihat pria dewasa supergendut.
“Kalo mandi dia nggak bisa melihat burungnya sendiri…” kata salah satu anak bengal. Teman-temannya terbahak. Semoga setelah dewasa anak itu tahu bahwa tebakannya salah. Begitu pula nona-nona yang pernah menggosipkan Luciano Pavarotti (almarhum) yang besar dan gendut.
Anak-anak perempuan itu juga ketawa ketika mendengar masa kecil ayahnya.
Catatan: pembaca pertama post ini adalah salah satu dari anak perempuan itu :)