↻ Lama baca < 1 menit ↬

KENAPA YA ADA KURANG NYAMAN DI MATA?

desain asli di taman mini

Yah, sayanya saja yang lancang dan sok tahu. Jadi maafkanlah saya. Kenapa? Setiap kali melihat papan nama pada (sebagian) bangunan pemerintah atau semipemerintah, kadang saya kurang sreg dengan tipografinya.

Contoh paling tidak enak adalah “papan nama” ruang di Sasono, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Lantas saya mengandaikan huruf itu diganti dengan yang kayaknya lebih cocok.

desain gombal di taman mini

Sejak dulu, bahkan ketika sang pelindung masih ada, dan duitnya tidak seret, seni tata aksara berbahan tembaga di tempat itu terasa wagu, kurang wangun. Apalagi sekarang, ketika tempat itu berkesan kusam.

desain asli di taman miniMemang, dulu, tahun 70-an, belum ada komputer pribadi yang bisa menghasilkan grafika vektor. Tapi nyatanya dengan mal dan skala, huruf berbahan logam di tempat lain (swasta) bisa tampil lebih rapi.

Hal sama berlaku untuk pahatan pada marmer nisan (dan prasasti). Yang warisan zaman Belanda masih rapi hurufnya. Tapi tipografi itu makin merdeka, dan semaunya, justru ketika Mecanorma, Letraset, Rugos dan kemudian komputer mulai dikenal.

Ternyata tidak ada hubungannya. Pembuat huruf asyik dengan gagasannya sendiri. Si pemesan, termasuk atasannya, juga tinggal mengiyakan. Letraset sampai komputer tadi tidak penting.

Jadi, salahkah “gaya bebas”? Tentu tidak. Masing-masing punya tempat. Jika pengemasan ulangnya cocok, maka dari street graphic pun bisa dihasilkan tipografi yang pas untuk keperluan tertentu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *