MULAI ADA TESTIMONI YANG BER-“SAYA”.
Nah, saya mulai saru? Terserah opini Anda. Payudara bisa menjadi obrolan saru tapi bisa juga jadi bincang sewajar anggota tubuh yang lain. Maka marilah kita mulai dari iklan ini. Modelnya Diah Permatasari.
Apanya yang menarik? Anda (pria) mau bilang, “Yang menarik itu ya, ehm…” Baiklah, saya tegaskan: yang menarik itu ya iklannya.
Sudah lama iklan-iklan tentang perawatan dan pembentukan payudara bertebaran. Biasanya iklan macam itu muncul melalui iklan kelas iklan kolom, dari salon resik di koran serius sampai segala ramuan ajaib padat janji pejal sugesti di koran ajaib.
Iklan dari salon atau klinik kecantikan biasanya hanya merupakan satu dari sejumlah layanan. Sedangkan iklan “obat” (apanya yang sakit?), dari minyak sampai krim, biasanya tidak menampilkan testimoni dari orang yang bernama — terlepas dari nama tenar atau nama biasa.
Kalau pun ada foto, ya foto entah siapa. Jadi intinya adalah membicarakan “payudara Anda” (konsumen) dengan sugesti melalui payudara entah siapa.
Sekian lama hal itu berlangsung. Pembicaraan tentang payudara, bukan dalam konteks ASI dan pencegahan kanker, masih menyimpan kekikukan. Maklumlah, meski sama-sama anggota tubuh, penampilan keseharian payudara memang tak di luar seperti halnya tangan (siku) dan kaki (lutut).
Tentu tidak bisa gebyah uyah begitu saja. Ada soal konteks: tentang siapa oleh siapa, kapan dan di mana. Belasan tahun lalu ketika majalah Dewi menobatkan Tamara Blezinsky sebagai wanita berpayudara terindah toh tak ada gonjang-ganjing.
Ketika iklan salon-salon pelangsingan kelas mahal makin terasa seragam, hanya modelnya yang berbeda (tentu sesama seleb), maka penajaman pun diperlukan. Salah satu hasilnya adalah model dikesankan yang berbicara tentang “payudara saya”. Bukan payudara entah siapa.