Open House Paksaan

▒ Lama baca 2 menit

SIAPA YANG SOMBONG? KITA MEMANG PENGINTIP!

marah rumah

Sahabat saya kesal. Sejak rumah yang dibangunnya itu menampakkan sosok, padahal belum jadi, ada saja orang yang mampir, masuk ke halaman bahkan ke dalam rumah.

Ngapain? Liat-liat. Atas nama apresiasi, mencari ide, dan komparasi. Bahkan ada yang dari luar kota segala. Sebagian berombongan. Beberapa yang datang adalah… arsitek!

Saran saya untuk melengkapi pagar proyek yang bukan di kompleks perumahan itu adalah memasang papan pengumuman. Siapa pun dilarang masuk tanpa izin. Hanya tamu dengan perjanjian yang diperbolehkan masuk.

Mungkin akan tampak sombong. Tapi siapa yang sebetulnya sombong? Pemilik properti atau para pengabai privasi orang lain?

Saran saya yang lain adalah segera kontak perusahaan jasa keamanan untuk menyewa anggota satpam. Memang sih, menaruh satpamwan berarti mengurangi keleluasaan dan privasi — apalagi pemilik bangunan adalah seorang nona. Apa boleh buat.

Saran yang belum saya sampaikan adalah meniupkan kabar bahwa dirinya bukan sombong atau asosial tapi penyakitan, dan alergi terhadap orang asing. Tapi cara macam ini tampaknya akan merugikan citra diri.

Juga belum saya sarankan untuk mengontak pengacara, karena memasuki halaman orang tanpa izin itu melanggar hukum. Yang pernah menggunakan pasal ini adalah seorang wanita terkenal dari keluarga terkemuka yang menyimpan kekasihnya, seorang perwira polisi, di rumahnya. Korbannya? Dua wartawan yang melompati pagar. Mereka sempat dicocok lalu ditahan.

Yah, inilah hidup. Ada saja orang yang tak sopan. Pernah ada seorang pria yang sedang memperbaiki rumah kontrakannya kesal karena tiba-tiba tetangga barunya masuk, tanpa memperkenalkan diri, bertanya soal ini dan itu kepada tukang.

Ada si empunya rumah saja mereka nekat tanpa permisi, apalagi kalau tanpa si empunya.

Beberapa tahun kemudian pria itu merubuhkan rumah kontrakan yang dibelinya. Lalu membuat rumah baru. Tak hanya tetangga, pelintas pun banyak yang mau tahu bagaimana rumah dibangun, dan bagaimana bagian dalamnya, lalu masuk tanpa permisi.

Salah satu penyatron, yang berpenampilan sopan, malah menyikat dompet-dompet dan ponsel-ponsel milik tukang. Ini sontoloyo asli!

Ada juga orang yang aneh. Dia berpendidikan, bergaji besar, tapi setelah melihat rumah itu dia dan istrinya mau pinjam gambar cetak biru dari pria pemilik bangunan (dan mungkin sekalian dokumen Excel untuk kalkulasi proyek). Bahkan kontraktor dan tukang yang sama pun akan mereka gunakan.

Sebuah jalan pintas, maunya. Tak perlu bayar arsitek dan konstruktor. Cukup penyesuaian rencana tapak di komputer. Bahkan si-calon-pemintas itu tak punya kebiasaan mengurus IMB setiap kali merombak rumah.

Misalkan jalan pintas memang diizinkan oleh pemilik bangunan dan arsiteknya, tidakkah dia paham bahwa sebuah rumah belum tentu cocok untuk dirinya?

Orang yang doyan ditamui akan merasa sesak oleh ruang tamu mungil untuk dua orang. Pemilik tiga MPV akan mumet oleh carport untuk satu city car.

Rumah bukan kodian dibikin sesuai cita rasa, kebiasaan, dan kebutuhan — bahkan filosofi — penghuninya. Gaya “minimalis” hanya cocok untuk orang yang tidak suka asal borong barang. Gaya eklektik-norak-murah-meriah cocok untuk saya yang suka nyusuh dan kemproh.

Lantas, apa masalahnya?

Sebagian besar dari kita adalah pengintip. Tidak saban tahun merenovasi atau beli rumah dan apartemen, tapi kita senang melihat arsitektur (termasuk interior) keren yang belum tentu layak jiplak! Itulah yang membuat media cetak hidup, baik melalui rubrik maupun majalah khusus.

Lho, kok jadi melenceng kesimpulannya? Iya. Memang. Biarin.

Baiklah kita kembali ke fokus. Dalam batas apakah sebuah ruang hunian pribadi memiliki ranah untuk publik?

Jika lanskap adalah milik bersama, dalam batas apakah sebuah bangunan privat boleh menjadi pengalaman bagi orang lain?

Saya bukan arsitek, tak paham soal wastuwidya maupun seni bina. Sebagai awam saya hanya mengandalkan akal yang semoga sehat. Apa? Terlepas dari citra bahwa sebuah bangunan itu menyebal dari lingkungan atau selaras, cicip pengalaman maksimal bagi orang luar adalah secara visual dari luar pagar.

Apakah dalam pengalaman visual itu termasuk perekaman melalui kamera? Aha, itu diskusi yang lain lagi.

Sebagai catatan baiklah saya ingatkan ketidaknyamanan yang pernah dilontarkan oleh beberapa penghuni Kota Wisata. Kompleksnya jadi ramai, didatangi orang yang menonton perumahan dan bahkan berfotoria.

Memang, untuk soal ini orang bisa menyalahkan konsep bisnis pengembang, dan menyalahkan pembelinya karena tak waspada sejak awal ketika memilih bermukim di sebuah taman mini mondial.

Rumit, ya? Ndakik-ndakik?

Mumpung belum ngelantur baiklah saya kunci: relakah Anda bila kamar tidur Anda dilihat oleh banyak orang tanpa permisi bahkan dipublikasikan?

© Gambar asli gubuk dan bibir: entah

Tinggalkan Balasan