LAGI, PANDUAN JAJAN SETELAH TV MENYEBARKAN “KESADARAN KULINER”.
Nama Warmo untuk warung tegal milik Darsyid di Tebet, Jakarta, itu diberikan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama. Sedangkan Bakso Titoti milik Slamet Triyanto diilhami oleh nama ketiga anaknya: Nuryanti, Haryanto, dan Diana Susanti.
Dari mana saya tahu? Dari buku lucu ini. Buku panduan jajan murmer untuk orang pacaran.
“Cukup bawa uang Rp 10.000 sampai Rp 50.000 (paling mahal), kamu + pacar bisa kenyang,” kata Anisa Anindhika (26), penulisnya, dalam pengantar.
Saya belum menghitung ada berapa puluh entri kedai dalam buku saku ini. Tapi tanpa malu saya akui sebagian besar tak saya pahami karena belum pernah mencoba. Artinya pengetahuan umum saya dalam soal kudap-mengudap masih payah. Artinya lagi, saya kurang gaul. Apa boleh buat.
Belakangan ini memang kian bertambah buku panduan jajan. Beberapa tahun lalu ketika Laksmi Pamuntjak bikin Jakarta Food Guide yang pertama, panduan jajan di luar rubrik di media cetak belum marak. Milis dan blog jajanan pun mungkin belum ramai.
Ada catatan: saya kurang paham milis dan web jajan karena tak pernah mengikuti. Maklumlah selera kuliner saya payah. Jajan pun kadang karena kesasar atau sok intuitif — dan sering salah.
Panduan jajan saya hindari karena saya sadar bahwa itu adalah sarang syaiton penggoda yang pada gilirannya akan membobolkan dompet (termasuk biaya labo dan dokter). Ya, sama jahatnya dengan toko buku dan toko CD.
Itulah sebabnya saya kagum tapi sekaligus berpantang diri membuka blog hebat seperti Jenz Corner. Penggoda lain, untuk wilayah Surakarta, adalah si Lidah Manja.
Dari segi penyebaran istilah serapan, “kuliner” dan “gastronomi”, atau bahkan “gourmet“, pun belum terlalu meluas pada tahun 80-an. Saat itu — ya, ya, ya, sudah lama — istilah “traveling” pun kurang membahana.
Sekarang makin luas kesadaran bahwa mengudap — selain bersantap lezat hasil masakan kerabat dalam undangan khusus — adalah seni. Bukan semata lidah puas dan perut kenyang.
Bersantap adalah penghayatan tak hanya terhadap rasa, melainkan juga kerja keras, kesungguhan, sejarah, suasana, adukan kultural, dan… adab gaul. Saya menduga TV ikut berperan untuk menyebarkan rasa kemecer.
Selain dari media tentu saja, sesuai adab gaul, adalah informasi viral yang getok tular (lisan). Memang sih, beda lidah beda tanggapan.
Roti bakar yang katanya top di Jakarta Selatan itu buat saya biasa saja — tapi orang bilang, “Atmosfernya dong, Bos!”
Steak rumahan di Jakarta Selatan yang dibilang murah lezat itu, menurut lidah saya yang bukan steakmania, masih kalah dari steak di Jatinegara yang sekarang sudah tutup.
Lantas bagaimana dengan buku ini? Bagus, justru karena unik: menawarkan seni mengudap murah untuk berdua.
One Comment