↻ Lama baca < 1 menit ↬

NIAT BAIK DAN NIAT BAIK, MANA YANG LEBIH BAIK?

politikus koruptor dalam pilkada

Mari mencoba menafsir dan menerapkan apa yang kita yakini sebagai “niat baik”. Kalau koruptor dan atau bekas koruptor, yang pernah menjalani pidana, itu mencalonkan diri jadi wali kota, bupati, dan gubernur bagaimana?

Kelompok niat baik yang pertama menentang. Alasan utamanya: orang yang sudah terbukti punya cacat moral dan hukum tak layak memimpin (lagi). Kasihan rakyat. Ini bukan pendidikan politik yang baik dan benar.

Di seberang yang lain, kelompok niat baik yang kedua menyetujui. Alasannya: si bekas narapidana korupsi sudah menebus kesalahannya melalui keputusan hakim, sehingga tak perlu dihakimi lagi melalui pelarangan untuk menjadi kepala daerah.

Atas nama pendidikan politik, kelompok kedua yakin bahwa inilah bentuk praktik demokrasi yang benar. Berikan hak setiap orang untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, lantas sesudahnya biarlah rakyat yang menimbang.

Sederhana kan? Mungkin. Sayang sekali persoalannya tak hitam-putih, apalagi jika menyangkut rakyat pemilih.

Ada yang menganggap, peduli setan dengan track record kandidat. Yang penting orangnya keren dan baik hati. Lagi pula di dunia nyata ini tak ada malaikat. Bisa saja seseorang tersandung kasus korupsi karena dia harus mempertanggungjawabkannya, padahal dia tak memperkaya diri serupiah eh sedollar pun dari sana.

Pihak yang berseberangan bisa bilang, “Oh, pemimpin yang tulus, tapi sayang naif. Apa dia tak tahu bahwa tanda tangan dan persetujuannya itu hanya memperkaya anak buah dan pihak lain, tapi sekaligus merugikan rakyat?”

Bagaimana jalan keluarnya? Serahkan kepada rakyat? Tidak, Saudara-saudariku. Serahkanlah kepada politikus dan politisi. Mereka itu ahlinya.

+ Mau rujukan? Lihat arsip.

© Hak cipta gambar asli: entah. Olahan: blogombal.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *