↻ Lama baca 2 menit ↬

BISA DAN GAMPANG, KALAU MAU. MASA SIH?

“Intinya, ngeblog itu apa manfaatnya?” tanya Pak Lucusatu.

Saya bilang, “Nggak ada manfaatnya. Sama seperti sampe(y)an ngomongin politik, ngerasani SBY, nggosipin pemilihan gubernur bank sentral…”

“Wooo lha kalo itu bermanpangat, Kang. Minimal buat menyalurkan kekesalan,” kata Pak Lucudua.

“Ngeblog juga begitu. Kadang ada manfaatnya, Bos,” kata saya.

blog wagu punya orang tua bernama ndoro kakung lelananging jagat satrio penyusup kaputrenMaka atas nama the song remains the same, saya ulangi ilustrasi lama yang pernah disebut oleh seorang blogger yang tampaknya sudah tidak bisa disebut muda tapi selalu merasa berjiwa belia bahkan remaja, dan tak jarang kekanakan, bahkan sering mengesalkan (padahal orangnya itu dulunya, eh sebetulnya, baik).

Ya, blog memang barang yang rada asing untuk generasi usia 40+. Sekarang sih mendingan. Enam tahun lalu kata “blog” pun belum mereka akrabi. Sekarang mereka tahu, kadang baca, tapi tak tahu cara bermainnya.

Alasan klasik adalah nggak bisa menulis. Padahal ada yang jadi jurnalis. Ada yang sejak muda doyan menulis bahkan ketika kuliah mendapatkan uang saku dari menulis artikel. Ada yang jadi akademikus eh akademisi. Padahal lagi, kalau berdiskusi di milis, yang anggotnya sedikit, mereka bisa lancar — malah isinya kayak makalah: argumentatif dengan rujukan data.

Di mana masalahnya? Ada beberapa sih. Misalnya, “Nggak ada temennya, soalnya mayoritas bloggers kan anak muda.” Ada juga, “Nggak pede, takut salah, kalo di milis kan beda, yang baca kan temen-temen sendiri.”

Jawaban saya, “Ada banyak teman, bloggers yang tua-tua itu. Soal takut salah, yah anggap saja setiap bloggers adalah teman sendiri. Justru menyenangkan kalau ada yang mengoreksi…”

Soal berikutnya adalah topik. Apa saja yang menarik? Saya bilang, “Yang menarik itu ya yang bikin sampe(y)an tertarik. Apa saja bisa diblogkan kok, Den…”

Lalu saya tunjukkan beberapa blog milik generasi lawas di layar laptop. Macam-macam isinya, dari yang nggak mutu sampai super-tanpa-mutu. “Kok ada yang baca ya? Kasih komentar lagi,” sahut Pak Lucutiga.

Saya bilang, yang bermutu justru komentarnya. :D Artinya, ngeblog dengan mutu rendah itu akan menuai komentar KW II dan KW I. Mulia kan?

Lantas lagi-lagi saya ulangi mantera, bahwa apa pun bisa dituang ke blog. Setiap blog, dan setiap posting tertentu, punya pembaca sendiri.

Maka janganlah ragu mengulas buku filsafat (“Tapi kesannya kok kemlinthi ya?”), membahas ekonomi global (“Apa orang-orang peduli?”), mengulas progressive rock (“Walah, entar dikira pamer bisa beli CD impor”), ngomongin cerutu dan wine (“Nggaklah, bisa-bisa dituduh borju…”), atau membahas nikmatnya warung kaki lima (“Hmmm… nanti dikira sok kere…”).

Apa yang ada dalam tanda kurung adalah semacam sanggahan, setidaknya keraguan.

Begitulah, sok memberanikan diri menjadi blog-evangelist untuk kalangan sepuh itu tak gampang. Padahal sebetulnya resep untuk mereka mudah. Dalam hal apa? Selalu ada pertanyaan, “Bagaimana cara mengisinya?”

Saya bilang semudah menulis surat di Yahoo!. Sampai di sini, ada saja yang tak percaya.

Tapi sebagai rintisan hasil, ada lho. Misalnya Semprul Sontoloyo yang akhirnya punya rumah sendiri itu. Usia anggotanya, rata-rata, sebaya atau di atas bapaknya Momon.

Asyik dan gampang, kata yang sudah mulai merasakan nikmatnya. Bingung mau nulis apa, kata yang lainnya.

Tentu, saya tunjukkan blog milik blogger sepuh lainnya, misalnya Ebess, bapaknya Mantri Kewan dan Anubis. :D

Lainnya lagi? Ada Budi Rahardjo (tanpa link, saking tersohornya — cari saja “rahard”). Ada Pakde Totot. Ada Mas Yockie. Ada lagi… hehehe, ya yang punya blog ini. Tapi untuk kasus ini, teman sebaya masih ada yang heran, “Kok bisa ya lu unjuk diri di internet. Kayaknya itu bukan lu yang gue kenal, yang soliter, yang introvert, yang suka ngumpet, nggak seneng ketemu orang, apalagi dipublikasikan. Apa lu udah berubah?”

Wah yang ini untuk posting berikutnya — kalau ingat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *