SOTA DAN DUNIA KONSUMSI.
Ada orang menganggap iklan kamera itu salah cetak. Kamera digital bergaya lama, masih range finder bukan SLR, yakni Leica M8, minta cicilan per bulan Rp 3.820.000 (12 kali). Padahal DSLR Nikon D300 (bodi) “cuma” Rp 1.681.000 kali 12 bulan. Dan DSLR Sony Alpha 700 (paket) pun “hanya” Rp 1.298.000 (12 kali).
“Mestinya yang Leica itu tiga ratus delapan puluh ribu (rupiah) per bulan,” katanya. Saya juga ikut setuju. Mestinya segitu. :D
Tapi apa mungkin? Harga bodi anyar Leica M8 dulu kabarnya Rp 50 juta lebih. Lensanya Rp 16 jutaan.
“Emang itu kamera sakti banget?” tanyanya. Tentu saya tak bisa menjawab karena saya buta fotografi. Lebih dari itu saya belum pernah mencobanya.
“Mungkin bisa motret uang yang ada di dompet orang. Pokoknya bisa tembus pandang, sampai label thong di balik jins pun terbaca,” kata saya.
Sayang jawaban hebat itu mengundang kritik: “Lha buat apa kalo yang keliatan cuma labelnya?”
Begitulah, diskusi tak bermutu dari dua orang yang awam teknologi. Mahal harus sakti. Tentu sakti menurut imajinasi kekanakan — dan kenakalan.
Yah, produk untuk konsumen memang mengenal kelas. Yang SOTA biasanya mahal. Kenapa mahal, ya karena isi, tampilan, pengerjaan, maupun jumlah memang hanya dirancang untuk mereka yang sanggup mengapresiasi.
Bila merujuk audio, untuk mereka yang berkantong tebal tapi kupingnya nrima ing pandum, ya tak perlu beli produk analog (dari phono sampai ampifier tabung). Ngapain juga beli barang yang nggak bisa baca MP3, lantas untuk mendengarkan harus memanaskan si perangkat sepuluh menit?
Tapi inilah kehidupan. Punya duit ya terserah. Tuan suka, Tuan bayar, setelah itu baru belajar. Jongos hanya bilang penuh kedengkian, “Dasar snob!” Selera bagus, tapi rekening hangus, sehingga hanya bisa bermimpi, itu salah sendiri.
Lantas apa yang disebut apresiasi terhadap produk? Saya tak punya definisi. Tapi kalau digampangkan ya semacam tingkat penghayatan dan penghargaan terhadap barang secara keseluruhan.
Dalam beberapa kasus, apresiasi butuh latihan. Makanan, minuman, bacaan, dengaran, tontonan, dan seterusnya. Konon, itu semua mencerminkan “tingkat keberbudayaan” seseorang. Jangan-jangan si konon ini juga snob.
Apresiasi, dalam beberapa urusan, juga memerlukan kesesuaian lingkungan. Pakai produk SOTA, tapi mereknya kurang dikenal oleh khalayak, kalau mau dipamerkan ke lingkungan yang salah malah dikira produk abal-abal.
Di sisi lain, lingkungan yang melek produk, dan ber-uang, bisa saja tetap bersahaja. Tak mau pakai arloji ratusan juta rupiah dengan alasan itu tak membantu dirinya untuk menepati waktu.
Sementara orang lain tak mau pakai pulpen Rp 10 juta dengan dalih itu tak membuat tulisan tangannya lebih bagus. Lalu orang lainnya lagi tak mau pakai pemantik api Rp 6 juta karena yakin si korek tak akan mempernikmat rokok yang diisapnya.
Lantas orang lain dengan enteng — tapi sirik — menyoal, “Buat apa pakai Vertu kalo cuma buat halo-halo dan SMS?”
Bagi saya itu semua menarik. Itulah dunia produksi dan konsumsi yang memperkaya kehidupan.
NB:
Oh ya apa kabarnya ya sang laksamana penyuka karaoke yang dulu punya beberapa kamera mahal, termasuk Hasselblad, tapi tak pernah mempublikasikan jepretannya? ;)