MENSYUKURI KEHIDUPAN, MAUNYA.
Seorang sobat bertanya tentang plus dan minusnya masuk ke sebuah kumpeni terkenal. Kesimpulan saya dari bualan panjang, sebelum dia menstarter motornya, “Comfort zone di sana mulai bergeser.”
Artinya ada kemajuan. Bakal tiada lagi RMS, DMSP, PGPS, dan seterusnya yang biasanya jadi bahan dagelan pelipur frustrasi.
Kebetulan perbincangan itu berlangsung setelah teman-teman di Langsat merayakan ulang tahun saya secara sederhana, dengan nasi tumpeng.
Secara ringkas saya menyebut beberapa hal yang tak saya sebut dalam bualan terdahulu, dengan moral cerita “itu hanya soal ketenagakerjaan biasa”. Misalnya saya jadi juragan juga akan melakukan serupa. Simpel. Masuk akal.
Sekarang beginilah saya. Tak berada dalam zona kenyamanan tapi hati lebih lapang, padahal ya hehehe… sering deg-deg-plas juga. Kalau diringkas jadi begini: kalender bukan lagi penghibur ketika ATM sedang tak ramah.
Ya, kalender tetap kalender, tak ada angka yang menjanjikan keceriaan, dari transfer bulanan sampai bonus dan kagetan lainnya yang tergolong “manatahan transfer”.
Semuanya tinggal hari kemarin. Penebal dompet — bukan uang tapi kepingan aneh, termasuk kartu diskon dan keanggotaan — sudah tak diperlukan lagi dan tiba-tiba menjadi lucu, tidak relevan, berlebihan.
Kini hari demi hari ya saya jalani apa adanya — dan semoga ada apanya. Kadang terpeleset juga sih, menjadi bocor mulut, “Itu dari zaman dulu ketika masih anu, anu, anu…” Setelah itu saya malu sekaligus geli.
Kalau saya renungkan, dulu-dulu saya malah kurang mensyukuri apa yang saya dapat. Dewa Mammon menjadi pelindung, Dewi Borosroyalwati serasa kekasih, banyak toko yang seakan-akan semanak, dengaran dan bacaan dibeli tanpa banyak disimak, carpe diem menjadi anthem. Ketika angka pribadi kian mengecil bahkan minus, kalender sudah kembali mengelus.
Tidak, tidak. Dari dulu saya tidak kaya. Bahkan dibanding sejawat yang seangkatan mungkin saya termasuk sederhana. Telat punya rumah, telat punya mobil. Tak pernah punya gadget teranyar maupun (big) boys’ toys keren lainnya. Tidak pernah melancong ke tempat dambaan banyak orang.
Kini saya bertambah tua. Pertambahan usia tahun ini juga biasa saja, tapi dari rasa dan status ternyata berbeda.
Anehnya, dan ini saya syukuri, saya mendapatkan hujan ucapan dari segala penjuru, baik berupa lontaran dari mesin maupun ketikan SMS dan e-mail, plus komentar, yang tak hanya manual tapi juga personal.
Belasan tahun saya bisa merahasiakan hari ultah saya, antara lain di lingkungan kerja. Lebih tepat ini: membuat orang lain cuek. Dan saya nyaman dengan itu.
Itu bertahan sampai akhirnya saya harus memulai satu hal: merayakan ultah sejawat, merayakan ultah anak-anak sejawat melalui kartu ucapan yang ditandatangani bersama, kadang dengan kado kecil murah.
Mau tak mau, hari ultah saya yang sebelumnya hanya diketahui orang-orang HRD (yang selalu memberikan kartu ucapan, plus SMS dan telepon ) pun harus saya buka…
Kemudian ketika blog memaksa, oh bukan…, ketika blog menggiring saya menyatakan diri (termasuk dengan foto diri) dan berani bertemu orang, maka konsekuensi pun tak dapat dihindari. Mulanya sangat canggung, sekarang mulai berkurang sedikit, dan semoga tak ketagihan pamer foto diri.
Nyamankah saya? Dengan hilangnya zona kenyamanan untuk urusan tertentu, saya sekarang merasa lebih sehat dan riang. Bagi saya ini bukan sesuatu yang telat. Bahwa itu memberi kesan saya (semakin) kurang tahu diri, ya maaf saja. :)
Terima kasih dan terima jadi untuk Anda semua. Sampai jumpa di alam sana. Lho? Kadung terketik dan saya sendiri ternyata nggak paham maksud saya dengan “alam sana” itu.