ADA SAJA CARA MENAWARKAN.
Tulisan itu menarik perhatian saya. Yang sering terpampang di kaca belakang mobil adalah “dijual”, lengkap dengan nomor ponsel si pemilik. Yang ini beda: “disewakan”. Saya mejumpainya tadi pagi di depan kampus Swiss German University, Serpong.
Dulu, karena naif dan ndesit, saya geli kalau lihat mobil di kota besar ditempeli tulisan “dijual”. Jualan kok dipakai jalan-jalan.
Setelah saya pikir-pikir, akhirnya saya menganggap itu sewajar rumah yang ditempeli “dijual” atau “dikontrakkan”.
Wajar dalam arti rumah tak perlu dikosongkan dulu baru kemudian menunggu calon pembeli. Maka mobil pun tak perlu buru-buru dititipkan ke ruang pamer, lantas pemiliknya setiap hari mencari tumpangan. Rumah yang ditunggui dan mobil yang disetiri justru mempermudah penjajakan, kan?
Prinsip yang sama bisa diterapkan pada sepeda. Tinggal mencantelkan pengumuman “dijual” di bawah sadel.
Bagaimana dengan motor, tanpa harus menutupi pelat nomor? Mungkin bisa digantungkan di jaket pengendara. Tapi ah, bisa-bisa dia disangka menjual diri.
Apa? Menjual diri? Maaf, kasar. Setahu saya tidak ada itu menjual diri. Yang ada, untuk urusan tertentu (sekali lagi maaf), adalah “menyewakan diri”. Tubuh dan jiwa tetap milik si empunya.
Penawaran untuk penyewaan itu dapat juga dilakukan sambil berjalan, selayaknya pasangan, seperti yang pernah saya temui. Sampai sekarang saya masih berharap semoga mereka bukan suami-istri.