INDO DAN PERCABANGAN SIKAP KHALAYAK.
Saya termasuk yang telat tahu siapa Cinta Laura. Ketika bertanya siapa dia, karena disebut dalam gurauan, semua orang seperti berlomba bicara seperti ini, “Oh kamyu cidak cahu syapa Cinca Lauwra? Icu karena kamu cidak pe(r)nah concon tivi…”
Akhirnya saya tahu dengan bantuan Ki Gugel. Gurauan teman-teman itu mengingatkan saya kepada sandiwara tujuh belasan zaman dulu, “En kowe orang extreemist, toch?” Ucapan itu dilontarkan dengan sengau.
Saya tak tahu apa kesalahan Cinta sehingga menjadi guyonan. Mungkin lafal indo itu sama lucunya dengan lafal njawani. Bedanya, di sebuah kelas “kursus pengembangan kepribadian”, dialek njawani itu (konon) dikoreksi karena kurang urban. Derajat kesalahannya setara membiarkan ujung dasi menutupi burung.
Apakah dialek kemlondo-mlondo pernah dianggap kosmopolit? Entah.
Saya tak tahu apakah artikulasi “r” yang lemah, dan “t” yang terjerumus ke “c”, itu juga dianggap kemlondo-mlondo. Dulu, waktu saya SMA, seorang siswi di kelas lain mewakili teman-temannya memberikan tanda terima kasih kepada guru praktik asal Australia.
Seisi kelas terbahak terpingkal sampai perut terpilin ketika si nona maju ke depan, “Saya acas nama kelas dwua i-pe-ah sacu mengucapkan cerima kasih acas…”
Si nona tak hendak melucu. Dia menghayati ucapannya sebagai bentuk penghormatan. Tapi teman-temannya menganggapnya sebagai dagelan yang layak kenang sepanjang hayat dikandung blog.
Indo, indis, sebagai hasil racikan Eropa dan “bumiputera”, adalah pembentuk apa-yang-kita-yakini-sebagai Indonesia. Ada masa ketika TV dan film diisi wajah blasteran, karena itu adalah daya tarik.
Sebelumnya, komik pun melakukannya. Jan Mintaraga pernah mengakui kepada saya, bahwa percampuran ras itu secara visual indah. Saya tak tahu apakah beberapa karakter dalam komik karya Teguh Santosa juga dianggap indo oleh sebagian orang.
Sebagian dari kita, tanpa rujukan yang terukur, menganggap lucu gaya campuran yang dibawakan (atau melekat dalam diri) seseorang “tapi kurang pas”. Rambut dicat pirang mengundang ledekan LKMD: Londo Kok Mung (n)Dase (Belanda Kok Hanya Kepalanya).
Itu ledekan, yang kata orang, sangat agraris dan “kedaerahan”, karena ruang gaul kosmopolitan tak mengenal LKMD.
Maka perbedaan gaya bahkan atribut pun dilihat sebagai kelucuan dan pada gilirannya mengundang kesewenangan, padahal tak merugikan orang lain.
Anda mungkin ingat lelucon superbasbang tentang wanita penyanyi di lapangan kabupaten yang selalu melafalkan “t” sebagai “c”.
Penoncon, eh penonton kesal, dan meneriaki, “Curun! Curun! Cidak mucu!”