↻ Lama baca 2 menit ↬

SEBUAH CERITA KASAK-KUSUK, JANGAN DIPERCAYA.

mobil pln @ tempat hiburan

Petang tadi saya dapat kabar, daerah anu untuk sementara aman dari pemadaman. Kok bisa? Ada pengusaha rumah hiburan yang telah bermusyawarah dengan PLN. Untuk merayakan hasil musyawarah, orang-orang PLN diundang ke resto (di Jakarta, tentu) yang suka menyajikan musik oldies itu. Saya buktikan, malam tadi memang ada beberapa mobil PLN di sana, diparkir dalam temaram — suatu hal yang setahu saya jarang terjadi.

Ah, pasti ini hanya kebetulan. Apa ndak boleh orang sekantor bersantai se(ratus) jenak karena ada yang mentraktir atau lantaran lagi kesetrum rezeki? Jangan sirik, dong. Maka izinkanlah saya membela PLN.

Jadi kalau ada yang menghubung-hubungkan lampu nyala dan kehadiran mobil operasional, tanpa ada bukti, pasti itu orang iseng penuh syak wasangka, bahkan lebih dekat ke fitnah. Lagi pula cuma blog kok dipercaya, kan? Blog itu kerjaan orang iseng. Tren sesaat pula.

PLN itu kesian lho. Mau monopoli, demi hajat hidup orang banyak, eh diserang kanan-kiri. Padahal dengan niat mulia seperti itu pasti banyak pengorbanan. Pernah PLN beli listrik dari partikelir dengan harga lebih mahal dari harga jual malah dibilang bodoh. Lho, gimana sih?

Saya juga kesian, petugas PLN sering dimarahi oleh warga perumahan yang tak rela lampu penerangan jalan hasil swadaya itu diputus begitu saja. Bukan swadaya sih, tapi mengambil setrum dari jaringan.

Bagi PLN itu salah. Memang warga sudah bayar iuran penerangan jalan umum, secara terpaksa, yang tercatat dalam tagihan bulanan. Tapi soal penerangan kan tanggung jawab pemda, bukan PLN?

Ada lagi petugas PLN yang ditantang seorang warga untuk memeriksa pemakaian setrum rumah pejabat dan orang kaya yang punya satpam dan herder. Untunglah petugas itu pintar berkelit, “Wah itu bukan wewenang saya, Pak!”

Tempo hari rumah saya didatangi petugas karena pemakaian setrum sedikit, dan bayar bulanannya menurut PLN rendah. Setelah diperiksa ternyata tiada AC barulah mereka maklum. Beli AC itu mahal, apalagi biaya bulanannya. Maka saya pun hanya pakai empat bolam @ 5 Watt untuk penerangan setiap ruang, dan lebih sering yang menyala adalah dua kali 5 Watt. Hemat itu baik. Apalagi kalau terpaksa karena duit cupet.

Tapi petugas kan digaji untuk curiga. Sakndilalah orang kayak saya mungkin dianggapnya berpotongan urik atau curang. Itu nasib. Kalau kelak ketemu di neraka, petugas itu akan saya setrum (dengan bantuan bloggers lain), sampai mereka terbahak-bahak sendiri tanpa bisa berhenti, lalu saya suruh ngeblog.

Kapan itu, awal Februari, sejumlah teman bikin acara malam hari di sebuah taman. Sore teman saya dapat laporan gardu PLN terdekat terendam banjir. Karena teman saya sudah bayar semuanya, termasuk setrum, maka tuntutannya satu: listrik taman harus nyala.

Lalu datanglah petugas PLN. Lampu di basement parkiran bisa menyala, dengan mengambil setrum dari lampu penerangan yang gardunya beda. Untuk itu mereka minta duit. Dengan senang hati teman saya menolaknya.

Ketika saya tanya soal genset di basement kepada teknisi gedung dan taman, jawabannya, “Untuk satu jam butuh 50 liter solar, Bos. Bos mau sediain solar nggak? Kita sih jujur aja nggak pernah ada solar.”

Mestinya dia minta ke Mat Solar. Yang pasti saat itu saya bersyukur, karena Jakarta telah menambah satu museum kelistrikan. Berupa genset anyar di Taman Menteng yang tak berfungsi itu. Siapa bilang kita tak menghargai sejarah?

Gajah mati meninggalkan gading, listrik mati meninggalkan rekening.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *