CARA INDONESIA MENGURUSI BBM.
Tadi siang saya melihat sebuah gerobak dua kali mengangkut tabung gas pembagian dari pemerintah. Kata kabar lama, itu untuk orang tak mampu. Kata kabar lain, orang yang bukan tergolong tak mampu juga bisa mendapatkannya.
Di mana? Bekasi.
Berapa tabung yang sampai ke sasaran? Entah.
Bukannya sudah ada daftar penerima, tinggal dicocokkan? Mungkin.
Kan tinggal minta konfirmasi kepada pihak yang mendistribusikan di setiap wilayah? Setelah itu menanyakan kepada pihak yang pernah dijanjikan mendapatkan tabung, sekalian menanyai pihak yang sebetulnya tak layak menerima?
Sabar, sabar, blogombal ini memang sembrono, tak pernah membuat tulisan jurnalistik.
Yang saya tahu, pernah ada seorang kepala keluarga melarang orang-orang di rumahnya untuk menerima tawaran tabung gas pembagian. “Bukan karena kita kaya, tetapi karena itu untuk orang yang lebih miskin ketimbang kita,” katanya.
Saya tak tahu bagaimana nasib catu BBM untuk kendaraan pribadi nanti. Apakah akan berjalan sesuai imajinasi para perencana? Penyelundupan solar dan pembelokan minyak tanah sudah membuktikan dua hal.
Pertama, kalau ada selisih harga, maka orang akan mencari yang murah. Kedua, dengan pengawasan yang buruk, setiap rencana yang mulia sekali pun bisa bisa berantakan di lapangan — apalagi rencana yang secara konseptual membingungkan.
Saya tadi menanya ke penjaga pompa bensin, juga di Bekasi, apakah pembeli yang membawa jeriken masih ada. Dia bilang masih ada, tapi untuk yang lima literan. “Itu untuk kendaraan yang mogok,” katanya.
Tentang rencana catu BBM, tetangga saya bilang, “Pemerintah ini payah. Mau naikin harga aja malu-malu.”
Tetangga lain menimpali, “Sistemnya sih…”
Maka saya pun teringat ucapan sopir angkot Pondokgede-Cililitan, “Sistem kita ini kacau, makanya semuanya kacau.” Setelah itu dia berhenti sembarangan di pertigaan, bikin macet, tapi polisi cuma semprat-semprit.
Sistem? Uh, mungkin chaotic system, mungkin pula systematic chaos, atau malah chaos oblong.