PELAT KUNING, NYAMAN, GAYA, TAPI UNDANG GUNJING.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, naik taksi adalah kemewahan, sehingga maknanya berimpit dengan keterpaksaan. Jika dan hanya jika alasan mengizinkan, dan dompet membolehkan, maka saya naik taksi.
Sekarang, maksud saya beberapa bulan belakangan, ada taksi keren. Pakai Mercedes Benz C230. Tapi Budi Rahardjo kuciwa. Saya? Belum kuciwa, pun belum puas, karena belum mencobanya.
Yang sudah terbayang adalah sekalipun naik taksi bagus belum tentu saya diizinkan masuk ke pelataran gedung instansi yang antitaksi. Misalnya instansi militer. Di sana mobil butut, asal berpelat hitam atau merah, apalagi berpelat militer, dapat welkam — tapi tidak untuk “teksi”.
Memang, dengan berpelat kuning, taksi tak beda dengan angkot tengu KWK, mikrolet, Kopaja, dan Metromini.
Meskipun begitu, bagi sekalangan orang, taksi bukan hanya menyangkut kenyamanan melainkan juga gengsi atau sejenisnya.
Beberapa sopir taksi mengungkapkan perilaku sementara pelanggan. Misalnya berombongan dari kantor, bayar patungan, dengan antaran menyebar. Bagi saya itu bagus, namanya konsumen pintar. Saya pun pernah.
Ada lagi? Pernah saya ceritakan di post terdahulu. Tamunya necis berdasi, wangi, tapi beraninya makan nasi berlauk sayur dan tempe, padahal sopir taksinya makan berlauk sate di warung sebelah. Saya meralat, itu soal kesehatan. Bang Taksi yakin itu soal daya beli.
Lantas? Aha! Ada saja wanita pelanggan yang turun dari bus di halte, sekitar empat kilometer sebelum kantornya. “Padahal kantornya dilewati bus,” kata si sopir taksi.
Saya bilang, sebelum masuk kantor para mbak wangi itu ingin mendinginkan tubuh dulu. Itu bagus, sadar penampilan, biar dekat toh membawa rezeki buat sopir taksi.
Si sopir yakin, itu demi gaya semata. Maksudnya? “Biar kelihatan saben hari naik taksi, Pak! Makanya biar ngantre masuknya lama, dia tetep milih turun di depan lobi, pas temen-temennya lagi dateng.”
Uh, sampai segitunya si sopir berprasangka, padahal itu membawa rezeki baginya. Entah apa pula komentarnya kalau para wanita penumpang yang dia pergunjingkan itu naik Silver Bird, masih berstatus karyawati percobaan pula.
Moral cerita? Hati-hati sama sopir taksi. Meski mereka tidak dites kemampuan mengarang saat melamar lowongan di pool, kemampuan ekstra itu kadang berkembang.
Pada suatu dini hari, saat saya terkantuk, sopir yang hapal rumah saya itu menyebutkan sebuah rumah di kawasan lain. “Itu customer kita, Bos. Pramugari. Lajang. Agak berumur sih tapi cantik anggun. Cuma hidup sama ibunya yang sudah tua dan pembantu. Saya sering nganter pulang pagi kalo dia mabok, sampe mapah ke rumah segala…”
Cerita selanjutnya tak saya ketahui karena saya sudah tertidur.
Lain waktu, juga saat saya terkantuk-kantuk, dan melewati gerbang kompleks sebelah, si sopir bilang punya pelanggan, cewek cakep, kalau malam panggil taksi untuk keluar ke tempat dugem atau apartemen berlainan, dan pulangnya pagi.
Ketika saya ceritakan dua bualan sopir itu, komentar istri saya adalah, “Hmmm… tertarik ya? Pengin kenal mereka?”