GOTONG ROYONG, KEKELUARGAAN, DAN UTANG BUDI.
Ketika mengepalai sebuah biro di Medan, teman saya mengeluh. Tak sedikit orang semarga yang datang minta pekerjaan. “Pusing aku,” kata si Batak itu dalam logat Semarang. Memang, dia keturunan Batak kelahiran Semarang.
Teman lain, selama berbulan-bulan, mengurusi sebuah proyek di pinggiran Medan. Selama di sana dia mengganti kartu nama dan name tag. Hanya nama depan, tanpa marga Bataknya.
“Wah mumet aku, Mas. Banyak orang semarga yang minta kerjaan,” tururnya dalam bahasa Jawa.
Orang Batak yang kedua itu memang menggelikan karena bahasanya sangat medok Jawa. Maklumlah dia orang Magelang. Padahal selama ini para sejawat memanggilnya dengan menyebut marganya, bahkan nama depannya pun tak banyak yang tahu.
Jadi, orang Batak suka minta pekerjaan kepada orang semarga?
Tentu tidak. Ini bukan masalah marga. Pada banyak suku dan keluarga, meminta dicarikan pekerjaan itu soal lumrah.
Bedanya, tak semua suku punya marga. Tapi sebagian dari mereka, misalnya orang Jawa, punya pengganti forum marga melalui paguyuban berleluhur sama, misalnya trah. Sebut saja trah Joyokampretan, Harjomisuwuran, Bambangkementhusan, dan Gombalkamplengen.
Persoalan sebagian anggota trah setiap kali ada arisan atau silaturahmi adalah pekerjaan dan jodoh. Mereka yang sudah bekerja, dan dianggap punya posisi menentukan, akan dimintai tolong menampung saudaranya.
“Lé,” kata seorang pakdhe kepada keponakannya, “itu adikmu barusan diwisuda, mbok tolong ditampung di tempatmu; jadi apa saja terserah.”
Permintaan dalam arisan kadang bertambah, tak hanya pekerjaan. Seorang ibu membisiki ibu lain, “Mbakyu, si Gentho Bagus itu sudah mapan kok masih sendirian to? Apa panjenengan tega? Ipar dari besan kami itu punya putri, anaknya baik kok…”
Soal jodoh, itu soal selera dan kecocokan. Tapi jika menyangkut pekerjaan, persoalannya bisa rumit. Menampung saudara adalah nepotisme, dan dianggap tidak bagus, bahkan jika si penampung adalah juragan perusahaan kecil yang menguasai seratus persen saham.
Bagi orang yang ditampung, menjadi orang bawaan itu juga tak mengenakkan. Kadang timbul pemakluman bernada merendahkan dari sejawat, “Namanya juga keponakan juragan, kan?”
Seorang bos yang menerapkan meritokrasi dalam perusahaan milik keluarganya akhirnya bersepakat dengan seorang sepupu yang direkrut. Si sepupu harus keluar demi kenyamanan masing-masing pihak.
Dengan atribut sebagai orang bawaan, padahal dia masuk melalui prosedur normal, si sepupu harus bekerja lebih keras daripada teman-temannya, agar dapat jauh melampaui target. Itu semata untuk menunjukkan bahwa dirinya berprestasi.
Kalau itu dibiarkan, kata sang juragan, berarti dirinya berlaku tidak adil bahkan zalim.
Yah, itulah buah kegotongroyongan dalam kekerabatan — tapi buah yang pahit. Ketika pertalian keluarga dibawa ke dalam pekerjaan maka urusan yang mestinya biasa bisa jadi runyam.
Bisa saja terjadi seorang karyawan baru, yang masih merupakan anggota keluarga juragan, tak pernah melakukan kesalahan dinas. Gaji kecil tak mengeluh, tak pernah mengajukan pinjaman, pokoknya tidak kelewat sadar hak.
Tapi, ehm, pakaian selalu bagus. Mobilnya gonta-ganti. Setiap cuti ke luar negeri. Pendek kata pancaran kesejahteraannya mengalahkan pemimpin dari bosnya atasan. Orang lain jadi sirik. Ujung-ujungnya kerja tim terganggu.
Entahlah, apakah soal beginian pernah dibayangkan oleh para orangtua yang memintakan pekerjaan untuk anak-anaknya.
Juga entah, apakah titip-menitip akan terus berlangsung sebagai bagian dari sejarah utang budi si Budi kepada Paman Budi.