↻ Lama baca 2 menit ↬

MENYAMBUT IMLEK 2008.

“Nanti dulu to. Barang dari Cina? Maksudnya Cina atau Cino? Kalo Cina itu RRC, kalo Cino itu saya. Hahaha!”

Suara itu dari belakang punggung saya, pada suatu petang, di kedai kopi lobi Hotel Le Grandeur di Mangga Dua, Jakarta. Saya pun tergoda untuk menoleh.

Pemilik logat semarangan itu seorang Cina. Lawan bicaranya, tiga orang, adalah seorang Cina dan dua orang bukan Cina.

Sabar dulu. Jangan keburu membatin saya sedang menebarkan benih kebencian rasial. Kata “cina” dalam tiga paragraf di atas ada enam. Ditambah judul jadi tujuh.

Tentang diskriminasi, tentang prasangka, sudah banyak dikeluhkan, dirembuk, bahkan dipertengkarkan, berikut segala keruwetan dan lukanya. Suatu hal yang tak sesering menimpa rumpun Indonesia keturunan Eropa, India, dan Arab.

Kita sering berada dalam situasi antara siap dan tak siap terhadap jawaban. Jawaban angkat bahu sambil tersenyum pahit kadang tak memuaskan. Tapi jawaban terus terang, dari pihak yang pro maupun kontradiskriminasi, kadang tak siap kita dengar.

Perlu contoh? Misalkan kita bertanya, “Mengapa dulu aksara Cina dan nama Cina dilarang, tapi aksara Arab dan Hindi tidak?”

Oh, itu contoh basi. Sekarang aksara Cina sudah boleh.

Baiklah kita ganti, “Kenapa penulisan ‘china’ lebih digemari ketimbang ‘cina’, bahkan didukung oleh Kedubes RRC di Jakarta dan Deplu? Kenapa pengucapan ‘cai-ne’ atau ‘cai-na’ dan ‘cai-nis’ dianggap lebih netral ketimbang ‘cina’?”

Jawabannya bisa panjang. Bisa juga pendek (misalnya: “Tau’, ah!”), untuk mengalihkan topik.

Jawaban panjang dan beragam — pun jawaban pendek pengelak — menunjukkan persoalan Cina di Indonesia itu kompleks. Banyak tafsir dan kepentingan. Tak sesimpel kita menyebut apa pun yang Jawa, Sunda, Batak, Madura, Arab, dan Indo — padahal sama-sama bagian dari bianglala Indonesia.

Begitu kompleksnya persoalan sehingga kita tak dapat berhitam-putih dan sering membuat kotak pengecualian. Meskipun Cina dia tidak pelit. Sebagai Cina dia itu nasionalis. Dia baik, profesional, sosial, sayang dia Cina.

sebuah kompleks perumahan di jakarta barat

Pada tingkat personal kita bisa mengaku antidiskriminasi, tapi melihat permukiman berwarna Cina kita kurang sreg — suatu hal yang tak dialamatkan kepada permukiman bergaya Arab dan Eropa.

Baiklah, kata “permukiman” tadi kita ganti dengan “sekolah”, “universitas”, dan “perusahaan”. Mungkin respon sebagian non-Cina sama.

Di sisi lain, pada tingkat personal seseorang bisa enteng mengaku anti-Cina dan apa pun yang serba-Cina. Nyatanya dia bilang “cepek” untuk seratus, doyan bakmi dan capcay, bahkan selendang gendong untuk anaknya pun batik pesisiran bermotif Cina.

Ketika ganjalan rasial masih tersimpan di hati, maka kesalahan yang dilakukan oleh orang Cina akan menjadi berlipat. Misalnya, “Dasar Cina!” Artinya menjadi Cina itu sudah salah, apalagi ditambahi kesalahan lainnya.

Memang sih hal sama, yaitu ganjalan yang mengemuka, bisa muncul terhadap kelompok lain, bahkan penganut agama lain, tergantung tingkat kesesatan referensi.

Sebetulnya urusannya tidak melulu hitam-putih. Rumit tapi penuh warna, dan kadang lucu. Sebagian pengucap dialek kedaerahan yang kuat dan sulit luntur — misalnya suroboyoan dan semarangan — adalah orang Cina. Bahkan sebagian Cina Jawa Tengah menyebut “nggojing” untuk “goceng” dan “capjae” untuk “capcay” sehingga jadi bahan ledekan orang Jakarta, baik yang Cina maupun bukan.

Bagaimana kita bisa menyebut mereka orang asing, jika dalam milis dan reuni yang jauh dari kota asal pun mereka merasa lebih ekspresif dengan bahasa daerahnya?

Saya mendapatkan cerita, para muda dari sebuah milis keturunan Cina akhirnya bikin milis sendiri karena tak nyaman dan bingung. Penyebabnya? Kaum senior, terutama yang bermukim di Amrik, bahkan menjadi warga sana, lebih sering posting dalam bahasa Jawa.

Justru dalam ketidaksederhanaan persoalan itu kita melihat ada geliat bagus, tidak baru tapi mengalir alami, dan terus bertumbuh, tanpa dorongan kampanye dari penguasa atau siapa pun.

Apa misalnya? Komunitas minat dan hobi.

Hanya kepentingan dan kesenangan yang mengikat anggotanya, sehingga asal-usul etnis tak penting. Misalnya kelompok pecinta perkutut, pecinta anjing, penggemar audio, dan kopdar bloggers.

Mungkin, satu-satunya wadah eksklusif orang Cina adalah perhimpunan marga beserta rumah abunya. Sesama Cina pun belum tentu gampang jadi anggota.

Butuh waktu panjang bagi kita semua untuk menerima perbedaan. Tapi haruskah kita belajar dengan ongkos yang sangat mahal, dan penuh luka?

Selamat Imlek. Semoga rezeki berlimpah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *