PARTISIPASI PENUH SKEPTISISME.
Maka saya pun ikut mencoblos, memilih walikota Bekasi. Itu sesuatu yang baru dalam hidup saya sebagai warga negara yang sebaiknya dan kebeneran: menggunakan hak pilih.
Saya ikut dengan sepenuh kesadaran bahwa saya cuma satu sontoloyo dalam sebuah keranjang sontoloyo besar bernama eksperimen demokrasi.
Eksperimen itu diwakili oleh ritus yang menghabiskan uang, sehingga Ketua PBNU Hasyim Muzadi menganggap pilkada terlalu banyak dan perlu dihapus. Jusuf Kalla, ketua Golkar yang wakil presiden, menghitung setiap 3,5 hari ada “pemilu”. Dia mengngandakian dalam lima tahun ada 500 pemilihan (pilpres, pilkada, legislatif) sehingga dalam setahun ada 100 pemilihan.
Saya siap tertipu dan ditipu. Kalau pemimpin tak beres marilah kita kontrol. Minimal kita ledek dengan harapan mereka sadar dirinya hanya kêthèk.
Kalau gagal mengelola kekuasaan maka orang-orang sipil “harus” merelakan datangnya revolusi tangsi yang menetapkan kebenaran di ujung laras bedil dan meyakini semua kebijaksanaan berasal dari sepatu lars.
Tentang pemilihan di Kota Bekasi, siapa calonnya pun selama ini kurang saya kenal benar. Untung Koran Tempo kemarin (Sabtu 26/01) membuat ringkasan. Ada tiga pasangan kandidat dengan program masing-masing.
Sebuah pemilihan lokal, dengan salah satu kandidat adalah tetangga jauh, saya pahami dari sebuah halaman daerah koran nasional. Alangkah anehnya jarak. Betapa konyolnya pemahaman saya tentang partisipasi politik.
Di TPS pinggir kali itu saya adalah pencoblos terakhir, yang datang lima menit sebelum penutupan yang ditetapkan pukul satu siang. Itu pun karena Saidi, satpam (dulu hansip) RT, sebelumnya mendatangi rumah saya, “Pak, ditunggu.”
Ada 300-an pemilih di TPS yang sepi penonton itu. Tak ada sorak. Semuanya aman terkendali. Pak Polisiwan terkantuk-kantuk. Saksi duduk manis mencatat. Sungguh sebuah Indonesia yang beres: adem-ayem dan sesekali berharap.
Ompung yang tadi menengok TPS sudah lama kembali ke bangku pinggir kali. Dia meneruskan caturnya. Itu sebuah percaturan benak antar-dua-orang yang menempatkan bidak sebagai pemeran perseteruan — bukan sebaliknya — sehingga tak membawa korban.
Setelah perhitungan suara usai saya pun pulang ke rumah, 150 meteran dari TPS. Jalanan sepi.
Tiba di rumah juga sepi. Hanya radio-gambar di ruang atas yang menyala. Saya dengar sebuah laporan impromptuous dari reporter TV yang bernada tergesa dan rada gugup. Terdengar beberapa kali dia mengucapkan “RSPP” dan “almarhum”. Di TPS tadi, selewat penutupan suara, tak saya dengar kabar itu.