EMANG NAPA? EMANG PENTING?
Kalau lagi kumat iseng, dan ada duit, saya beli koran eceran apa saja. Buat menambah pengetahuan sehingga tampak agak lumayan terpelajar sedikit. Bukankah menurut korpsnya Ndoro membaca koran itu baik? Tepatnya: baik untuk orang koran?
Pagi tadi kemarin saya dapatkan Pikiran Rakyat (PR). Harganya masih normal (Rp 2.500), belum menjadi harga roti pagi pada petang hari. Selama 2008, inilah koran Jawa Barat pertama yang saya beli. Saya mencoba mengingat, selama 2007 kayaknya cuma beli PR dua kali.
PR itu koran Jawa Barat. Saya adalah warga Bekasi, bagian dari Provinsi Ja-Bar. Tapi ternyata saya bukan pembaca setia PR. Salah satu pangkal soal adalah saya sulit sekali memperoleh PR eceran, bahkan sebagian agen pun tak memasukkannya ke dalam senarai periksa.
Taruh kata PR gampang saya dapat, apakah info Jabodetabek-nya memuaskan saya? Baiklah, masalah tak akan saya perpanjang ke wilayah konsep produk, segmentasi, dan lain-lain, yang mudah ditebak. Di Bogor, yang lebih kental Sundanya, maskot PR Mang Ohle pernah menghiasi beberapa tempat.
Saya sedang mencoba becermin. Sebagai warga Pondokgede, di pinggiran Bekasi tapi di luar DKI, di manakah sebetulnya domain saya?
Saya jarang ke kota Bekasi, bahkan jalanan di sana pun tak hapal. Kode pos rumah saya dulu, menurut anjuran kantor pos, adalah “Pondokgede 17…” dan bukan “Bekasi 17…” Saya ber-KTP Bekasi, cap lele (ndesani, kata teman) bukan Monas. Pelat kendaraan saya memakai imbuhan default “Y” (nomor udik, kata teman). Saya mengurus paspor, duh jauh amat, ke Karawang (“Ada yang lebih jauh?” tanya teman saya). Saya pun setengah memperhatikan pilkada yang sedang berlangsung.
Bekasi, seperti halnya bukan-suburb-tapi-juga-bukan-satelit lain dari Jakarta, hanyalah ekstensi dari pusat yang kebetulan menjadi tetangga. Apa yang ada di Jakarta juga punya cabang di wilayah tetangga, dari toserba besar sampai hiburan.
Maka ada baiknya kita dengar Pak Wali,
…di Kota Bekasi banyak juga orang Jakarta. Karena terdesak, mereka tinggal di Kota Bekasi. Mereka ini seharian berada di Jakarta, cuma tidur aja di Kota Bekasi. Mereka pun tidak banyak menuntut, kecuali infrastruktur.
Saya tak tahu apakah orang Cileduk, BSD City, Pamulang, dan sebagian Bintaro Jaya, serta Butuceper, juga merasa sepenuhnya sebagai warga Banten? Apakah warga sebagian perumahan Jati Asih merasa sebagai orang Bogor? Apakah warga sebagian perumahan bertema mancanegara yang promosinya mengatasnamakan lokasi Cibubur (Jakarta) itu merasa sebagai orang Bekasi sesuai tlatah geografis?
Boleh jadi jawabannya justru, “Emang itu penting?”
Entahlah, apakah para kandidat dalam pilkada juga menanggapi dengan cara serupa.