↻ Lama baca 2 menit ↬

BOCAH DAN KENDARAAN RODA DUA.

bonceng anak dengan sepeda motor

Dari spion kiri saya tampaklah bebek yang tenang melaju. Si bocah yang duduk di depan terkantuk-kantuk dibuai angin. Bagaimana kalau dia terjatuh, padahal kedua tangan pengendara motor memegang setang?

Oh, dia tidak akan terjatuh. Selendang batik pesisiran bermotif Cina akan menjaganya. Bulevar Pondok Indah, Jakarta Selatan, mereka susuri dengan nyaman.

Bagaimana kalau motor terguling? Selalu ada risiko, apa pun cara pemboncengannya.

bonceng anak

Saya juga pernah melakukan hal yang berbahaya, membawa si sulung (ketika masih kecil) dengan membolehkannya berdiri di atas dek, di ruang sempit antara jok dan setang pada skuter saya.

Untunglah kami tak melewati jalan ramai, hanya putar-putar kompleks dan kampung. Beberapa kali mengantar ke sekolah, ding. Oh ya, ralat lagi, dia juga saya ajak ke pasar. Tentu dia pakai helm.

Yang pasti anak saya senang kalau diajak pergi dengan berdiri di atas skuter. Kadang dia bernyanyi. Kadang dia juga terkantuk-kantuk.

Yang merepotkan, untung cuma sekali, dia menari-nari karena melihat anak-anak lain dalam mobil di tengah kemacetan riang bergerak-gerak. Skuter pun agak oleng.

Kelebihan kendaraan roda dua, baik kereta angin maupun sepeda bermesin, adalah buaian angin. Ketika masih bocah, sepulang dari sekolah saya pernah tertidur di atas boncengan sepeda bapak saya.

Adapun si kecil kurang pengalaman dalam berskuter. Ketika dia tumbuh, skuternya mangkrak. Si roda dua itu cuma nganggur, tanpa bensin, padahal mesin tak bermasalah, sehingga pernah ditawar oleh tukang ojek.

Sedangkan tukang ojek lain menjadikan skuter nganggur itu sebagai alasan untuk surcharge, karena dia menganggap saya kaya: punya motor kok naik ojek.

Tukang ojek lain lebih sontoloyo: dia sering memergoki saya naik skuter untuk makan di kedai seafood dekat pangkalannya. Dia menganggap saya kurang serius dalam bermotor, buktinya lebih suka naik angkutan umum, sehingga layak kena surcharge.

Sekarang saya menyesal. Mestinya skuter itu dulu saya sewakan ke tukang ojek. Terbebas dari prasangka dan… dapat duit.

Kembali ke bocah dan motor, ya. Bagaimana dengan si bungsu? Sudah dua bulan lebih si kecil cabut dari mobil antar-jemput. Dia memilih naik ojek.

Semilir, katanya. Lebih cepat tiba di sekolah, katanya lagi. Lebih penting lagi: dia bisa bangun pagi 30 menit lebih molor. Ketika masih pakai mobil jemputan, dia harus bangun lebih awal.

Tapi dari segi ongkos, yang Rp 10.000 sekali bonceng, ojek jelas lebih mahal. :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *