Sopir Pribadi dan Juragan

▒ Lama baca < 1 menit

MEREKA BAGIAN DARI KOMEDI URBAN.

sopir ngaso

Dalam pengap karena sedikitnya sirkulasi udara segar, beberapa sopir beristirahat di salah satu kapling parkir yang dikosongkan. Ada yang tidur. Baju dinasnya digantung.

Itu pemandangan biasa di Ibu Kota. Yang saya lihat kemarin siang di kolong sebuah gedung likuran lantai di Mega Kuningan itu hanyalah contoh.

Memang banyak gedung perkantoran (dan pusat perbelanjaan) yang tak menyediakan ruang tunggu bagi sopir. Mal Taman Anggrek tergolong baik, karena menyediakan ruang bagi sopir selagi menunggu bosnya.

Selain mencari pojokan, beberapa sopir memanfaatkan bagasi sedan besar, yang menjadi kantor berjalannya, untuk tidur. Tapi mau tidur di mana pun, mereka harus siaga jika ada panggilan melalui SMS. Ketika ponsel belum menjadi barang setiap orang, para sopir hanya mengandalkan panggilan dari public address.

Kita yang bukan sopir, atau belum pernah menjadi sopir, bisa bilang, “Ya memang begitulah nasib sopir.” Tak sedikit sopir yang menunggu selama tujuh jam, tapi tak bebas ke mana-mana, karena majikan hanya menumpang saat berangkat dan pulang kerja.

Sopir pribadi, bagi yang mampu menggaji, adalah kebutuhan. Lalu lintas Jakarta semakin melelahkan untuk diarungi sendiri oleh pemilik mobil.

Akan tetapi kadung terpatri di benak banyak orang bahwa sopir pribadi hanya pantas untuk mobil besar dan bagus. Memercayakan mobil sporty kepada sopir akan dianggap aneh — buat apa beli kalau tak dikendarai sendiri? Hal sama berlaku untuk city car yang imut.

Maka maklumilah jika dulu, ketika Volvo di Indonesia masih mengandalkan sedan bongsor, pemiliknya tak berani mengendarai sendiri, apalagi dengan setelan safari gelap, karena tak mau disangka sebagai sopir.

Disangka sebagai sopir berarti berkemungkinan disodori kotak nasi ketika memarkir di tempat perhelatan. Jika dia tampil sementereng mobilnya maka oleh kaum sopir mobil operasional dia akan ditempatkan ke dalam kasta sopir yang lebih sejahtera.

Tentang sopir pribadi dan pemanfaatannya memang bertaut dengan persepsi. Pernah seorang karyawan jadi bahan guyon sejawatnya karena menggunakan sopir untuk Daihatsu Charade bulukan miliknya. Aneh, kata teman-temannya. Ledekan itu sama jahatnya dengan guyonan untuk sejawat lain yang menyerahkan Kijang tuanya ke valet di kafe.

Sopir adalah kawan berkeluh bagi majikannya. Sopir, dengan niat maupun sengaja, sering mendengar obrolan telepon juragannya. Pendek kata, sopir setia biasanya tahu banyak rahasia bosnya.

Itulah sebabnya ada saja wanita lajang karier yang, untuk urusan tertentu, tak mau diantar-jemput oleh sopirnya. ;) Atau didrop dan dijemput di tempat tertentu saja, agar tak ada topik asam-manis yang jadi pencuci mulut di meja makan keluarga besar. :D

Tinggalkan Balasan