↻ Lama baca 2 menit ↬

PIJAT, KERJA, KOPDAR.

dayinta & raras

Ketika seorang juragan menanyakan keberadaan saya, teman saya bilang, “Dia lagi mudik.” Tanggapannya lucu: “Lho, jebul dia itu masih ndeso, pakai mudik segala?”

Memang saya ndesit. Apa boleh bikin. Yang pasti, mudik Natal, sekalian (maunya) liburan, kali ini tapi ternyata lebih melelahkan ketimbang trip Juli lalu. Masalah ada pada saya, bukan pada waktu. Saya berada di luar Jakarta, pindah dari kota ke kota, tapi otak tak sepenuhnya santai. Saya membawa “becakan”.

Saya mengayuh becak? Mirip. Istilah “becakan” itu saya kutip dari beberapa orang untuk menyebut pekerjaan yang berbau ngobyek dan kejar setoran. :D

Maka seperti umumnya pengeluh yang menganggap dunia itu tidak adil, saya merasa sulit sekali mencuri waktu dan mengembalikan mood untuk meneruskan genjotan.

Suasana (namanya juga liburan sambil silaturahmi) dan koneksi internet yang lelet bisa menjadi kambing hitam**. Ditambah dengan tugas utama sebagai sopir, komplet sudah paket keluh-kesah itu. :D

pijat refleksi di salatigaUntunglah anak-anak mau mengerti. Istri, mau tak mau, juga (pura-pura) mengerti — padahal dia tak tahu apa saja yang sedang saya kerjakan. Saya pun akhirnya juga mau menerima kenyataan bahwa Wi-Fi beralir deras seperti d di hotel dalam liburan lalu hanya sebuah kebetulan.

Untung juga ada kesempatan berteduh dari hujan, ketika jalan kaki menyusuri kota lama sendirian, untuk pijat refleksi sampai tertidur.

Juga untung bisa ketemu duo trondolo (Momon dan Anto) di Yogya. Saya menyebut mereka “anak-anak”, seperti ketika pamit ke istri, “Aku mau ketemu anak-anak itu. Kamu mau ikut?”

Saya sebut “anak”, bukan sebagai anak muda menyebut temannya, karena mereka jauh lebih muda dari saya. Bahkan bapaknya Momon itu adik kelas saya waktu kuliah — tapi si bapak, tentu saja, tak kenal saya (karena saya memang kurang edar). Yah anggap saja saya dengan kakak-beradik Tito dan Chandra: paman dan keponakan yang kebetulan sama-sama ngeblog.***)

Bedanya, kedua keponakan itu saya kenal sejak mereka bayi. Adapun duo trondolo baru saya jumpai malam itu. Momon ternyata kalem. Sulit membayangkan dia usil dalam imaging sampai berurusan dengan polisi. Adapun Anto, memang selalu bilang ini dan itu. Banyak bertanya, banyak bercerita, dan jenaka. Mereka kompak, saling melengkapi.

herman saksono & antobilang

Perbedaan kami selain usia dan konsumsi beras sejak lahir, plus ke(tidak)suburan rambut? Tak ada. Sama-sama bloggers yang dipertautkan oleh semangat brotherhood. Begitu kan, Nak eh… Bro?

Untung sekaligus sayang, Tika sudah keluar dari rumah sakit (berita bagus), tapi nggak bisa keluar rumah (berita burook).

*) Kemrungsung (bahasa Jawa): tergesa, bergegas

**) Malam ini rumah di pinggir sawah yang saya inapi malah mati lampu, untung baterai masih melek

***) Lihat perbandingan: dua bloggers BHI tentang Iman Brotoseno: “Ternyata Mas Iman itu sebaya ayah kita…”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *