CERITA DARI LUAR RUMAH.
Pagi sudah tunjukkan pukul setengah dua. Wanita 30-an di meja sebelah itu sudah selesai makan. Piringnya sudah kosong. Sesekali dia hentikan obrolan dengan lelaki muda dan bocah perempuan usia 10 tahunan, hanya untuk menawari anak-anak yang mengemis itu untuk memesan makanan.
Tiga anak dipersilakan memilih makanan dari gerobak-gerobak penjaja di taman sebelah Hotel Formule 1, Menteng, Jakarta. Pesan si wanita itu sama, “Jangan dibawa pulang ya. Dimakan di sini.”
Maka anak-anak itu pun makan di meja pentraktirnya. Sesekali wanita itu mengajari anak-anak agar tak membuang tusuk sate ke pelataran konblok. Dia ajari juga dua bocah cara makan burger. “Kalo kamu nggak suka sayurnya, taruh sini,” katanya, sambil menyodorkan kotak styrofoam kosong.
Lalu datanglah anak-anak berikutnya dan berikutnya. Bergabung pula wanita tua pengemis. Mereka boleh memesan apa saja. Asal dimakan di tempat.
Saya tak tahu siapa wanita itu. Para penjual juga tak tahu. Anak-anak hanya angkat bahu ketika saya tanya.
Kenapa tak saya tanyakan langsung kepadanya? Saya rikuh. Lagi saya ge-er akan ditraktir padahal saya sudah kenyang nasi uduk barusan.
Ada saja yang baru jika kita berada di luar rumah. Termasuk malam tadi dan pagi ini. Di depan Apotek Jawa, yang kini berpapan nama Century HealthCare, sekitar setengah tiga, seorang pemuda masih ditato temporer oleh penato.
Kota yang hidup tak pernah tidur. Ketika malam makin larut, dan sebagian besar warganya sudah memeluk guling, masih ada saja kehidupan di luar rumah. Hiburan, jajanan, dan “jajanan”, masih memutarkan cakram ekonominya. Mereka yang suka keluar sendirian (maupun berombongan) berkemungkinan mendapatkan pengalaman baru.
Rabu malam menjelang Idul Adha, ketika kemacetan lalu lintas menyumbat di sana-sini, saya dan Tito juga menjumpai hal yang di luar perkiraan. Sudah biasa bagi yang sering ke eks-Menteng Plaza, tapi baru kami ketahui malam itu.
Di lantai dasar gedung parkir, lima anak muda berlatih biola, menghadap ke pintu kaca — sekalian becermin. Langit-langit beton yang rendah menjadi ruang resonansi mereka. Salah seorang bilang, biasanya mereka berlatih di taman yang ada rumah kacanya itu.
Untuk sesaat kantuk pun hilang, menikmati beberapa lagu, termasuk Layang-layang Selayang Pandang, persembahan gratiskuintet yang merupakan bagian dari jaringan orkes gesek Taman Suropati itu. Sesekali biola dimainkan secara pizzicato.
Kehidupan di luar rumah memang menarik. Setelah mengeposkan tulisan ini saya akan kembali di rumah. Di sana juga ada kehidupan yang menarik. Rumah maupun luar selalu memberikan pengalaman baru yang saling melengkapi.