BUKAN SEKADAR PENGASAH INGATAN.
Untuk orang setua saya, buku ini menarik. Melatih ingatan. Kesimpulan? Saya makin pikun.
Tak apa kalau itu jadi kabar bagus untuk Anda, bisa buat lucu-lucuan meledek. Nasib tak dapat ditolak, kata orang putus asa. Membalas juga bisa, kata orang kreatif (dan kurang tahu diri).
Untunglah, sebagian gambar seperti memanggil kembali ingatan fotografis di benak saya. Tepatnya: ingatan reproduktif, melihat foto lalu merekamnya tanpa sengaja.
Ketika melihat gambar Karta, saya langsung teringat Sengkon dan Karta. Ternyata, di halaman belakang, itu terjawab dalam kreditasi: benar. Ya, buku ini memang menghadirkan foto dari halaman ke halaman, lantas keterangan foto, dengan thumbnails, ada di halaman belakang.
Sengkon dan Karta, adalah produk peradilan sesat. Mereka tak membunuh tapi dijebloskan ke bui, dan kalau tak salah justru di penjara mereka berkenalan dengan pembunuh asli, sehingga kebenaran pun terungkap.
Pelepasan mereka, dan kembalinya ke rumah, menjadi incaran pewarta foto saat itu. Kalau saya tak salah ingat, Kartono Ryadi (almarhum) memotret ini tanpa blitz karena tak membawanya. Dia menjepret dengan kecepatan lambat, memanfaatkan sambaran kilat fotografer lain (Karta Bebas, Kartono Ryadi, November 1980).
Melihat foto Vivian Rubianti (nama lama: Iwan Rubianto), saya teringat kasus hukum pertama di Indonesia, ketika seorang warga memohon peneguhan mahkamah untuk perubahan kelaminnya (melalui operasi) dari pria menjadi wanita. (Menjadi Wanita, Kartono Ryadi, September 1973).
Melihat Xanana berlatar tembok LP Cipinang, Jakarta, kita memetik keyakinan dan harapan seorang pejuang (Xanana, Eddy Hasbi, Maret 1994).
Jadi, sebuah buku kumpulan foto jurnalistik hanya menjadi pelatih ingatan?
Sebaiknya tidak. Foto peristiwa dan portrait, sebagai pembekuan gerak dan ekspresi, adalah cermin kehidupan manusia pada suatu masa. Tak harus berhubungan dengan memori dan pengalaman personal pembacanya.
Sebuah portrait juga bisa berlaku sepanjang masa. Seperti sorot mata lelaki tua yang menjadi sampul (Lelaki dari Ailiu, Eddy Hasbi, 1999).
Dari foto-foto atletik, renang, dan perlombaan lainnya, kita tak hanya melihat sosok atlet, melainkan — lebih penting — upaya manusia untuk mengenali batas kemampuan fisiknya secara sehat, tanpa dopping dan sejenisnya.
Dari foto-foto pertandingan, kita melihat sebuah penggalan drama yang membingkai naluri intrinsik (dan primitif) manusia untuk berkompetisi dan mengalahkan orang lain, kadang atas nama bangsa, hanya saja itu dilakukan secara beradab dan berseni.
Untuk urusan ini Kompas berhasil. Foto-foto terpilihnya bagus. Juga berhasil karena koran yang lain, dan kantor berita foto, belum meramaikannya dengan buku sejenis yangberkualitas cetak layak, yang didistribusikan secara luas. Maksud saya: sudah sih, tapi mestinya lebih banyak dan banyak lagi.
Sayang, harga buku yang memuat 280 foto hasil jepretan 40-an wartawan ini mahal — padahal sudah disponsori. Tapi menabung untuk sebuah buku yang bernilai, apa salahnya kan? ;) Atau tunggulah Kompas menyediakannya sebagai hadiah TTS. Latihan ingatan diganjar dengan latihan ingatan. :D