↻ Lama baca 2 menit ↬

KALAU KOPERASI BISA, KENAPA PARTAI TIDAK?

muladi golkar mau pangcu kaya

Jika merujuk cerita silat cina Kho Ping Hoo, maka pangcu (ketua) sebuah kaypang (partai pengemis) kayaknya bukan kere. Buktinya dia bisa minum arak yang enak; cuma pakaiannya saja yang tambalan. Lantas bagaimana dengan ketua partai politik? Menurut Tuan Muladi, gubernur Lemhanas, ketua partai harus ber-uang.

Saya kok kurang sreg ya. Kalau sebuah partai memang bagus pengorganisasiannya, maka ketuanya tak perlu kaya. Justru kas partai, yang mendapatkan urunan dari kader (dan sumber lain yang pantas sekaligus legal, termasuk pemerintah), yang akan memberi honor kepada sang ketua agar bisa hidup layak.

Para penyumbang berhak tahu berapa honor sang pangcu, bahkan itu dimasukkan ke laporan audit yang diumumkan di web dan koran. Sebagai pengeluaran, status honor pangcu itu sama dengan pos lainnya, sejak listrik kantor sampai bensin mobil operasional.

Bagaimana kalau anggota partainya proletar semua? Partai kader yang baik bisa menggerakkan warganya untuk urunan sesuai kemampuan demi sebuah cita-cita.

Kalau anggota partai tahu bahwa pangcu-nya memang kere, mereka tak akan sowan untuk minta sangu atas nama SPP, pengobatan, dan uang jalan.

Kepada pangcu mereka cuma menitipkan nasib, harapan, dan impian (bahkan kesumat) demi kehidupan bersama yang lebih baik — bukan meminta angpauw.

Pendapat saya mungkin naif. Maklumlah saya bukan “pakar” maupun “pengamat” politik. Saya juga bukan orang partai, baik partai gurem, partai eceran, (partai) grosir, maupun partai besar. Oh ya, saya pun bukan party goer.

Omong-omong tentang partai, kita boleh prihatin bahkan muak. Tapi, apa boleh buat, dengan segala kesontoloyoannya, partai-partai tetap kita butuhkan dalam proses demokratisasi.

Kalau kita keburu nafsu dan tak sabar, maka itu sama saja mengundang revolusi tangsi dan mempersilakan sebuah junta. Itu juga bisa mengundang revolusi lain — dengan sponsor pengendali mesiu — yang membuahkan singgasana diktator yang merasa punya cek kosong.

Maka kita masih berharap kepada partai. Tepatnya: partai yang dikelola seperti sebuah koperasi (bukan korporasi) yang baik dan benar. Dari anggota untuk anggota. Bedanya, partai punya klaim diri yang besar: dari anggota untuk rakyat.


*) Ilustrasi: repro dari Koran Tempo, Kamis 13 Desember, halaman A4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *