MEREKA ITU BAROMETER LAGU SUKSES.
Jreng-jreng-jreng. Tralala trilili. Kadang malah cuma bergumam dan bertepuk tangan. Anggap saja world music. Lalu musisi itu kita kasih duit. Daripada repot, daripada ribut, daripada dicap kikir, kan? Lagi pula cari makan memang susah. Lapangan pekerjaan tersedia, tapi tak semua orang sesuai kualifikasi.
Dari pengamen, kadang kita menuai kejengkelan. Misalnya ketika saya tak mendengar musik mereka karena sedang memutar musik sendiri. Lantas mereka berteriak-teriak dari pintu pagar. Bagi mereka itulah cara yang masuk akal untuk memberitahu.
Lebih mengesalkan lagi, ketika saya sedang menerima telepon, mereka terus berteriak-teriak, padahal dari luar jendela mereka melihat kerepotan saya. Sungguh sebuah pelajaran tentang kesabaran untuk saya (dan mereka pun merasa sedang belajar hal yang sama).
Pengamen juga merepotkan saat kita sedang makan di warung. Apalagi kalau kita makan tanpa sendok-garpu tapi muluk (Jawa: langsung pakai tangan). Merogoh uang menjadi pekerjaan sulit.
Baru lima suapan datang pengamen berikutnya. Lalu berulang dan berulang. Yah apa boleh buat. Apalagi nyanyian mereka kadang memang mengarah, menyindir tuan yang makan lezat tapi mengabaikan si miskin yang kelaparan.
Kita (kadang) senang kalau dalam nyanyiannya mereka mencerca penguasa, tapi kesal kalau kita juga ditempatkan sebagai si kaya teman penguasa. :D
Tentang daftar mengesalkan perilaku pengamen, silakan Anda tambahi sendiri. Tulisan Budi Rahardjo, dan komentar di dalamnya, bisa Anda rujuk.
Meskipun begitu pengamen juga bermanfaat. Baik dari pengamen yang menghibur maupun mengesalkan, saya tahu lagu yang lagi laku. Ukuran sebuah lagu baru itu popular adalah dinyanyikan oleh anak kecil dan pengamen. Cocok untuk saya yang kurang wawasan musikal.
Dari pengamen saya tahu lagu Teman tapi Mesra, Bang SMS, dan yang terbaru adalah lagu entah apa judulnya, tapi kata anak dan istri saya adalah dari The Rock-nya Ahmad Dhani. Tuhan kirimkanlah aku kekasih yang baik hati, yang mencintai aku apa adanya… Byuh! Delivery order surgawi nan elok.
Pengamen, menghibur atau mengesalkan, adalah barometer laku tidaknya lagu. Mereka seperti kaset dan CD bajakan, termasuk yang kemasan MP3. Hanya orang kemlinthi dengan humor tipis yang meminta pengamen pengaku spesialis musik Indonesia untuk menyanyikan lagunya Canizzaro, RNRM, dan Polyester Embassy.
Kalau pengamennya berkilah, “Itu lagu luar, Bos…” maka si kemlinthi garing sudah siap dengan jawaban tak mutu sekaligus jumawa, “Lho itu band Indonesia, CD-nya dijual kok.” Teman-temannya bukan geli malah kesal — dan was-was. Lebih baik merogoh uang daripada berkelahi dengan orang jalanan.