SEBUAH KEMAJUAN. PERLU DITAMBAH TAKARANNYA.
Saya geli ketika membaca buku untuk kelas lima SD. Ada foto kericuhan di ruang sidang DPR-RI dan lapangan sepakbola. Boleh juga penulis (Rini Ningsih, M.Pd.) dan editor (Tri Novia, S.Pd. et.al.) buku Pendidikan Kewarganegaraan terbitan Yudhistira ini. Ada upaya untuk mengedepankan persoalan aktual.
Civics, pendidikan kewarganegaraan, atau apa pun namanya, hanya menjadi lebih hidup jika buku dan guru merujuk contoh sekitar. Penugasan berupa pembuatan kliping koran, untuk sekolah yang siswanya sanggup, tampaknya menarik. Apalagi jika ditambahi pengumpulan bahan dari internet. Tentu dengan catatan jika sekolah dan siswanya memang sudah berinternet.
Dari kliping bisa didiskusikan kasus terpilihnya Antasari Azhar sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Reputasi sang pejabat, dan keraguan sebagian kalangan masyarakat terhadap dia, bisa diangkat di kelas. Begitu pula tawar-menawar selama pemilihan.
Guru, sebagai fasilitator, tentu juga harus terbuka terhadap opini yang pro-Antasari, karena memang sedang menyuguhkan kontroversi dalam kelas. Selebihnya biarlah para murid menyampaikan kesimpulannya.
Lantas bagaimana dengan kebiasaan kasih sangu oleh (konon) sebagian sekolah kepada tuan pejabat pengawas dari kalangan birokrasi pendidikan yang secara berkala datang? Apakah perlu didiskusikan di kelas, Pak Guru?
Ndak ada itu. Cuma fitnah, anak-anak. Mana mungkin dunia pendidikan melakukannya. Betul anak-anak? Coba Wicak maju, masukkan itu bajumu ke celana, lalu hapus papan tulis. Jangan cerigis melulu.