SELAMAT DATANG CALON MUSEUM.
Retro. Nostalgia. Eksotis(is)me. Kalau cuma itu pendekatannya, maka bisa disingkat dengan satu kata: klangenan. Bisa juga: (ke)iseng(an). Cuaca mode berubah semuanya akan terpinggirkan.
Buat saya sih mestinya bisa lebih dari itu. Kita bisa menempatkannya sebagai bagian dari keping puzzle imajiner untuk memahami dan membentuk sebuah Indonesia.
Karena saya bukan akademisi, yang bisa saya lakukan seperti di gombalabel ya cuma cengengesan semaunya. Kepentingan awal saya adalah menyelamatkan hasil pulungan sebagai berkas digital lalu membagikannya kepada orang lain.
Karena muncul dalam halaman web yang bisa diakses oleh publik, maka saya karanglah cerita. Isinya ya tafsir cap suka-suka. Kalau Boing-boing yang tak paham bahasa Indonesia pernah memuatnya, ya itu salah mereka.
Untunglah ada beberapa orang serius, misalnya Arief Adityawan (Adit) dan Enrico Halim (Rico), yang mencoba menempatkan desain label dan kemasan itu sebagai cermin untuk memahami Indonesia masa lalu, hari ini, dan membayangkan yang kelak. Dari sana, diangankan, nanti (entah kapan) akan muncul desain-desain yang — katakanlah — “mengindonesia”. Emang sih, “mengindonesia” ini wilayah dengan debat yang berbusa.
Adit dan Rico itu dosen desain komunikasi visual FSRD Universitas Tarumanegara (untar), Jakarta. Untuk mata kuliah Tinjauan Desain II dalam semester pendek tahun ini, label dan kemasan mereka jadikan kajian.
Untar, kampus dengan banyak mahasiswa keturunan Cina, seperti diberi sebuah penyadaran tentang pembentukan sebuah keindonesiaan yang akulturatif. Unsur kecinaan juga membentuk Indonesia dalam banyak hal, tak hanya ekonomi semata.
Apa tadi? Penyadaran? Pengingatan? Ini istilah yang sok, dari saya, seolah menganggap warga Indonesia keturunan Cina kurang menyadari, kurang ingat, soal pembentukan Indonesia dalam kuali adukan itu.
Mereka toh juga sadar, selama ini menjadi bagian dari Indonesia. Dengan catatan: bagian yang menyandang stigma dengan segala kompleksitasnya yang berujung pada penghiburan klise, “Yang penting hatimu tetap Indonesia.”
Saya belum menemukan kata yang tepat untuk menggusur “penyadaran” dan “pengingatan”. Biarlah proses interaktif secara komunal yang merumuskan istilahnya. Lebih penting bagi saya adalah niat, yang oleh mereka berdua, disebut sebagai “{mungkin} museum desain grafis Indonesia”.
Bukan museum sebagai bangunan fisik penyimpan karya, melainkan sebagai jaringan kerja untuk bertukar data. Artinya, dalam tafsir saya, keisengan Ndoro Bedhes maupun blog khusus Djoko Santosa, termasuk bagian dari jaringan embrio itu.
Sebuah kesadaran telah tumbuh, tinggal bagaimana membiakkannya. Blog pun bisa dimanfaatkan, termasuk dalam mata kuliah itu. Publik ikut mencatat, seberapa dalam — atau seberapa dangkal — sebuah label/kemasan diamati dan ditafsir.
Sesuatu yang baru itu wajar kalau hanya membuat canggung. Tapi sebagai semangat, kalau ditularkan, akan dimatangkan oleh banyak orang.
Dalam kebaruan yang masih mencari-cari pula di FSRD Untar ada pemeran sampel kemasan “eksotis” produk Indonesia bertajuk HybridGrafik 2007. Salah satu blog kelompok tugas mahasiswa adalah ini. Untuk mengetahui yang lainnya silakan klik tautan di kolom samping setiap blog. Jika Anda kurang paham apa maksud mereka, bertanyalah kepada mereka.