↻ Lama baca 2 menit ↬

JAKARTA SUATU PAGI TANPA PEI.

rumah kaca jakarta

Untuk siapakah taman kota? Tanpa menjadi gubernur setiap orang akan bisa menjawab: untuk warga.

Tapi inilah Jakarta. Kita tahu beberapa taman, hanya saja tak pernah sempat menyinggahi karena belum ada alasan. Bukankah kebetulan pun sebuah alasan?

Ada banyak dalih untuk tak singgah. Paling utama adalah gegas dalam ketergesaan mengejar waktu. Klise tapi memang begitulah adanya.

Soal lain adalah di mana akan memarkir kendaraan? Kalau pun naik angkutan umum, sayang juga buang kesempatan. Lama menunggu di halte, dapat kursi, masa sih mau dibuang begitu saja demi rasa ingin tahu?

Pada tingkat pertama kehadiran taman adalah terpaan visual. Selebihnya adalah ayunan kaki. Tapi di kota ini, masih banyakkah pejalan kaki? Jarak dekat ditempuh dengan ojek. Jarak jauh dengan taksi. Jauh atau dekat, kalau ada mobil dan sepeda motor sendiri, berarti kaki dipindahkan ke roda dan mesin.

rumah kaca jakarta

Jalan kaki, di kota ini, kalau pun terjadi, hanyalah bagian dari rutinitas semata. Dari halte ke kantor. Dari kantor ke kantin. Pergi-pulang. Bahkan titik parkir pun, jujur saja, sebagian dari kita memilih yang hemat langkah.

Jalan kaki, bagi orang-orang berkendaraan pribadi, dan di luar urusan luangkan waktu untuk olahraga, adalah ketika di mal. Makin besar mal makin panjang jarak tempuh. Misalnya di Mal Taman Anggrek, Mal Kelapa Gading (III, II, I menyambung ke La Piazza), Mal Artha Gading, dan Pondok Indah Mall (I-II).

rumah kaca jakarta

Taman di sebuah tempat adalah untuk orang sekitar. Memang itu prioritasnya. Untunglah suatu hari saya mendapati ada orang turun dari bus kota, entah dari mana, rehat dulu di taman pada suatu pagi, baca koran, buka bekal, lepaskan jaket, lalu kenakan dasi.

Mirip film impor? Sebentar lagi hari memanas, Matahari memanjat sambil sebarkan panas. Taman yang miskin pohon peneduh (ada, tapi kita harus bersabar sampai mereka besar) hanyalah sekadar plaza dalam arti senyatanya: pelataran terbuka.

Lantas untuk apakah rumah kaca itu? Saya tak tahu dan malas menanya Ki Ageng Google. Saya hanya mendapati pintu-pintunya terkunci. Tampak indoor unit dari split AC di dalam. Kaca-kaca memburam. Saya pun tak tahu apakah rumah kaca di bekas stadion ini dibangun seperti rumah kaca di Kemang yang sudah memperhitungkan pengelolaan panas (dibuang ke jalan dan tetanggakah?).

rumah kaca jakarta

Di sana, pagi itu, tiba-tiba saya berharap bertemu Engkong I.M. Pei dan bertanya bagaimana prinsip pembuatan piramida kaca untuk negeri tropis berkelembaban tinggi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *