TAMPARAN PENGINGAT DARI DUA KENALAN BARU.
Dua ekor patin besar tergolek amis dalam keranjang. Didapat magrib tadi, kata Fathoni. Joran di ujung masih tersandar di pagar jembatan. Senar terulur, mata kail di bawah berharap hampiran ikan, ujung galah di atas mencoba menyapa rembulan.
Hanya dua ekor. Sejak senja. Dan hari sudah berganti.
Masih dua ekor. Sebelum subuh keempat joran yang disandarkan di pagar jembatan Sungai Cisadane harus sudah diangkat karena udang umpan sudah habis. Harus pulang meski hanya dua ekor.
Tinggal dua batang Sampoerna kretek hijau. Botol plastik kusam berisi air rebusan tinggal sepertiga. Angin dingin menyelinap dari kolong jembatan. Di bawah sana hanya alir air memuara. Pernah joran digondol lari ikan. Tidak dapat terkatakan besar atau kecilnya ikan, kata Rusdi.
Selebihnya, seperti hari-hari lain, seperti malam-malam lain, adalah joran yang ditegerin di pagar jembatan Sungai Cisadane, penghubung Gading Serpong dan jalan raya utama BSD City, di Banten.
Ketika truk melintas, jembatan pun bergoyang kencang. Sopir truk mungkin hanya melirik. BMW 530i hitam melintas cepat tanpa gemuruh mesin. Pengemudinya, yang barangkali tertemani Acoustic Alchemy dalam redam ruang bergerak nan bertata suara bagus, mungkin hanya sempat melihat kami bertiga sepersekian detik sebelum jembatan.
Ada berapa dunia pagi tadi?
Ada jembatan penghubung.
Ada kali gelap yang kadang menghanyutkan mayat — yang terakhir adalah jenazah bocah laki delapan tahunan dengan kepala bolong.
Ada perumahan nyaman berbulevar mulus. Ada tempat minum dan santap yang barusan tampilkan Doobie Brothers dan Bee Gees Melayu — paket tiruan nostalgik orang mapan.
Di sana, di pelataran bertenda untuk jajan, yang manjakan orang dengan gemerlap, dengan ubin tertanami tebaran lampu halogen 35 Watt, listrik yang padam selama dua menit — saat pelayan kafe sudah bersiap pulang — langsung memunculkan lolongan serapah dari puluhan mulut. Padahal kesemantaraan gelap tak sependek usia busa krim kapucino.
Tak sampai dua kilometer dari sana, dua ekor ikan adalah harapan dari alir kali gelap. Dua ekor ikan: bisa untuk lauk, bisa pula dibarter dengan pembeli nasi. Dua ekor patin mungkin sampai di meja makan rumah lain sudah berbumbu bali.
Cuma mereka berdua itu pemancing tetap, kata seorang tukang ojek. Ada satu lagi pemancing tetap, kata Fathoni. Tapi dia lagi narik ojek, lanjutnya.
Joran tetap ditegerin di pagar. Hidup harus dijalani dengan ketegaran, kata si bijak berpahit luka. Memancing itu ada yang bilang pekerjaan orang malas, kata Fathoni dan Rusdi. Saya katakan, saya tak pernah berhasil dalam memancing. Ikan hanya menyambar umpan lalu lari.
Kami bukannya malas, kata mereka. Malam di jembatan, jauh dari kampung hunian, adalah cara untuk melepas sisa hari dan menyambut pagi. Di jembatan itu tidak ada tetangga yang melihat, kata mereka.
Kami sudah berusaha, tapi hari-hari ini tidak ada pekerjaan. Apa yang bisa dilakukan oleh penganggur selain bersembunyi setelah lelah mencari, tanya mereka.
Melarikan diri ke jembatan untuk memancing adalah pelarian sekaligus harapan. Malu bila terlihat di rumah terus, kata mereka. Saya tertampar. Pedas. Rasa itu terus melekat sepanjang 50 kilometeran menuju pulang.