↻ Lama baca 2 menit ↬

totot indrarto & yockie suryoprayogo

Bersirobok dengan Jeffry Tahalele di trotoar. Kayaknya habis manggung. Saya cuma mengangguk dan senyum, tanpa sapa, karena tak saling kenal. Saya hanya nobody. Lalu tibalah saya di meja itu. Ada dua orang lagi ngobrol. Keduanya gondrong. Sayang, saya tidak — hanya punya rambut sebahu saat SMA dan sempat setelah tua pada awal kerontokan.

Yang satu saya kenal baik — tapi belum lama. Namanya Totot. Sebelumnya saya juga nobody buat dia, karena saya hanya tahu blognya dan foto berpeci ala Si Pitung itu.

Yang satunya lagi, sekian puluh tahun, cuma saya kenal nama, sosoknya di pentas (itu pun dari jauh), karya, dan fotonya — juga foto-foto kecil dalam kasetnya dan daftar instrumen yang jadi kreditasi rekamannya. Dia Yockie Suryo Prayogo (JSOP), yang tentu tak mengenal saya. Dari dulu saya lebih ingin ketemu dia daripada Chrisye.

Maka saya pun bergabung malam tadi. Jadi pendengar. Sesekali nyeletuk. Ketika pentas mengalunkan Bouree (J.S. Bach) yang jazzy, dari entah flute siapa (yang pasti bukan dalam gaya Ian Anderson, bagian dari cohort kami), saya masih bisa mendengar Mas Yockie bercerita. Juga menyimak, dan ngegongi, pendapat Totot.

Setelah itu kami semua harus berteriak. Pementas membawakan bermacam jenis lagu dengan tata suara yang kencang. Saya harus mengatupkan daun telinga kanan, dan memajukan daun telinga kiri, untuk meredam spiker dari kanan.

Lantas Abadi Soesman lewat — hanya JSOP yang kenal. Berhai-hai, Abadi menanya JSOP sambil menunjuk pentas, “Nggak main?” Hmm, dua orang kibordis God Bless, tapi beda line up, dan beda aliran — dan kayaknya nggak pernah main bareng karena band itu bukanlah Saga yang pakai dua kibordis. :)

Jadi, kami bicara musik? Hanya sebagian. Lainnya, lebih banyak porsinya, adalah segala hal di sekitar kita.

Tebakan saya benar, JSOP adalah manusia gelisah. Banyak hal yang mengganggu benak dan hatinya. Kebetulan dia punya blog — sesuatu yang jarang dimiliki musisi seangkatannya — sehingga kegelisahan bisa dibagi.

Dengan kopdar, saya menyerap lebih banyak dari dia. Lebih artikulatif dan ilustratif. Ada beberapa hal saya tanyakan dari dia dan mendapat jawaban. Tentu tak saya publikasikan karena itu bukanlah wawancara.

Yang saya kurang tanggap, karena datang telat, ternyata JSOP ditunggui istri, putrinya yang cantik, dan putranya yang gagah bercambang-jenggot, di meja lain, di pelataran yang sama, sejauh 10 meteran dari Bengawan Solo Coffee, di Downtown Walk @ SMS. Padahal malam telah larut, sangat larut. “Anak saya besok ujian,” kata JSOP.

Terima kasih, Mas. Terima kasih, Tot.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *