↻ Lama baca 3 menit ↬

CATATAN SEPIHAK TENTANG SEPENGGAL MASA.

bekas kantorku

Apa kabar, tanya beberapa teman. Saya dan mereka dipertemukan oleh blog. Di antara mereka ada yang bekas sejawat. Pernah sama-sama bersarang di pagupon (kandang merpati) yang sama.

Ngapain aja, tanya mereka via SMS maupun e-mail, dan sesekali ketika berjumpa sesaat di sebuah tempat.

Jawaban jujur adalah nganggur dan bokek.

Memang ada saja yang menebar fitnah mesra bahwa saya banyak duit, cuma berleha-leha dan haha-hehe. Apa boleh buat, kebohongan dalam canda kalau diulang-ulang akan dipercaya oleh mereka yang kurang hirau konteksnya. Itulah yang namanya propaganda. :P

Lalu datanglah e-mail terakhir. Dari penghuni pagupon juga, yang lama tak bersua. Akrab, tapi agak kikuk (sekaligus sopan) ketika menyinggung soal PHK yang dicanangkan Maret lalu. Sebuah kehati-hatian agar tak merobek luka yang belum mengering, menurutnya.

Masa-masa sulit itu telah lewat. Itulah rentang waktu berbulan-bulan ketika pekerjaan, wewenang, dan tanggung jawab mendudukkan saya dalam peran yang menuntut ketegaran, kewarasan, dan kesiapan untuk menampung lalu menghubungkan perbedaan.

Di satu sisi saya memang mewajibkan diri mengurusi orang lain, tak hanya pihak yang menjadi korban sebuah keputusan melainkan juga pihak yang dengan berat hati memutuskan, dan di sisi lain saya sepenuh sadar menempatkan nasib sendiri dalam prioritas terakhir.

Istri saya, seperti istri teman-teman, tahu kepahitan itu dari suaminya. Dia tahu setelah saya ajak bicara, keesokan pagi, di kantin tempat kerjanya. Terlalu mendadak dan mengejutkan, baginya. Dia hanya menatap lekat ke arah saya, sambil menahan tangis. Selebihnya adalah pancaran hampa sepasang mata. Itu ekspresi yang belum saya lihat sejak kami pacaran pada usia 17 sampai kami berusia 46 sebagai suami-istri dengan dua anak.

Saya menceritakannya dengan suara pelan, tenang, ringkas, runtut, karena sebagian ketegangan sudah melebur sejak awal pembicaraan rencana pahit itu bersama para pengambil keputusan.

Saya tahu sejak dini, terlibat, dan sealir perkembangan masalah saya tahu di mana posisi saya, dan keputusan pantas macam apa yang harus saya ambil untuk diri sendiri.

Tak sepenuhnya keputusan saya itu altruistik. Kadar egosentriknya cukup kental: agar hati ini nyaman dan tidur nyenyak tak diganggu mimpi buruk.

Ada rasa tertampar dan menyumpahi diri ketika ada saja teman sekerja yang menyampaikan rencana kerjanya dan usulannya untuk kelak setelah produksi tamat, dan terutama rencana pribadinya yang berhubungan dengan masa depan dan biaya.

Benak saya menyimpan pita meteran ujung perjalanan kelompok dan anggotanya. Hati saya membukakan kantong kebungahan tentang rencana-rencana baik itu. Tapi di hati yang sama ada kantong lain yang juga menganga, untuk menampung mendung berbiak yang belum mereka ketahui.

Untunglah masa sulit itu, terutama setelah pencanangan yang disusul negosiasi, kadang disii canda bersama, untuk mentertawai nestapa sendiri. Saya juga bercanda, membuat katup secara sok kreatif, melalui permainan grafis di dinding, agar tak menjadi letupan destruktif.

bekas kantorku

Memang ada saat yang bisa meledakkan tangis sendirian di ruang sudut karena kompleksitas peta psikologis sebuah kelompok kecil ternyata memicu gesekan, mengikis sesaat temali kebersamaan yang dijalin bersama bertahun-tahun. Setiap orang menjadi lebih sensitif, mudah marah, gampang tersinggung, lekas meledak.

Saya waktu itu belum sampai pada keputusasaan. Hanya kegeraman sesaat kepada situasi dan kondisi. Selebihnya adalah hari-hari saya yang jalani seperti biasanya. Dengan ngeblog. Dan cengengesan. Seolah sebagian besar urusan beres, dan sisa tipisnya adalah masalah ringan.

Tapi jujur saja selama masa-masa sulit itu garis imajiner yang mengubungkan nat lantai, sambungan plafon, bujur-lintang kusen, dan tepian dinding ruang kerja maupun keseluruhan kantor, telah menghadirkan sebuah konstelasi kegundahan.

Itulah garis imajiner sejak pagi ketika saya datang sebelum petugas kebersihan tiba, dan malam ketika harus mengunci semua pintu untuk pulang. Garis imajiner saat sepi orang. Tanda “exit” di atas pintu tangga darurat pada ujung lorong telah bermakna lain. Lebih tegas.

bekas kantorku

Exit. Tibalah hari itu. Saya pamit ke beberapa orang. Tanpa luka. Tanpa dendam. Bukan sebagai pecundang. Dan tanpa perbincangan panjang. Pihak yang dipamiti kadang tak tahu harus bicara apa saat mata berkaca dan tenggorokan tercekat. Hubungan kedinasan memang tak sepenuhnya instrumental, struktural, dan fungsional. Pertalian personal juga tebal. Itulah sebagian dari nilai-nilai kehidupan.

Itu semua telah berlalu.

Saya ceritakan ini untuk penanya kabar yang belum tahu, tapi dalam setiap perjumpaan sekilas di antara meja kedai, dan bahkan wastafel dalam toilet tempat umum, itu semua tak dapat saya ungkapkan karena terlalu panjang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *