KELAK ADA DI SEMUA PESIMPANGAN.
Salah dua kendesitan saya dalam ngeblog adalah kelangkaan data pendukung dan kegemaran mengajukan pertanyaan bodoh. Maka saya tak tahu, sampai hari ini Jakarta itu sudah punya berapa jalan layang (flyover) dan jalan kolong (underpass). Rasanya sih banyak.
Apakah nanti semua persimpangan jalan dan perlintasan sepur di Jakarta akan dikangkangi oleh jalan layang atau digangsiri oleh jalan kolong?
Hanya para penentu kota yang tahu jawabannya, termasuk “Mr Mustache the Expert” itu. Atau, jangan-jangan, mereka malah tak tahu jawabannya.
Para perencana wilayah Jakarta (dan BoDeTaBek) adalah orang-orang yang pintar tapi sering aneh. Pintar, karena mereka bisa merencanakan ini dan itu — bukan cuma ngetik di blog. Aneh, karena cara berpikir mereka sangat orisinal.
Mau contoh? Sekian belas tahun, sebelum ada JORR, pengguna jalan tol dari arah Jagorawi tak dapat berpindah jalur ke jalan tol Jakarta-Cikampek. Mereka harus keluar di Cawang (UKI), menyusuri kolong Cawang Interchange.
Tak jelas, untuk apakah simpang susun itu dibangun kalau tak memudahkan perpindahan jalur dan rute. Kalau masalahnya adalah pembagian hasil di antara operator jalan tol, mestinya bisa dirembuk. Lantas di mana peran perencana wilayah? Tanya ahlinya dong. Dia kan sudah jadi gubernur.
Hal sama berlaku untuk perpindahan jalan tol Priok-Semanggi ke jalan tol Jakarta Merak. Pengendara harus keluar dulu di Grogol untuk kemudian masuk lagi ke Tomang Interchange secara menanjak.
Nah, untuk yang barusan itu, belum ada solusinya. Mungkin para perencana cerdik lagi pandai itu menyerahkan semua urusan ke pengelola jalan tol.
Lantas apa urusannya dengan jalan layang dan jalan tol?
Kelak kota ini akan semakin banyak membangun pemisah jalur jalan secara permanen. Tujuannya agar para pengendara sepeda dan sepeda motor, serta pendorong gerobak soto maupun ketoprak, mencari putaran U sejauh pengendara mobil. Nah putaran U-nya ada di bawah jalan layang atau di atas jalan kolong, termasuk yang di atas maupun di bawah jalan tol. Cocok buat ngetem angkot dan ojek.
Kalau tak mau memutar jauh silakan melanggar arus atau sekalian nekat menggunakan jembatan penyeberangan. Lantas biarkanlah warga yang stres berkelahi sampai mampus untuk berebut jalan seperti berebut titian batang pohon di atas jurang.
Selama sistem transportasi hanya dilihat sebagai penyediaan jalan bagi mobil, kota ini akan semakin semrawut. Busway hanya akan efektif kalau semua prasyarat terpenuhi (termasuk tertib lalu lintas), dan yang terpenting busnya memang ada dan buanyakkkk, setiap dua menit melintas, dari pukul lima pagi sampai pukul 11.55 malam. Dengan atau (apalagi) tanpa itu, jumlah jalan layang dan jalan kolong menjadi kurang penting.
Monorel? Taruh kata garansi pendanaan proyek sudah beres sejak awal, tapi kalau daya angkut dan jelahah pelayanannya terbatas, ya sama saja. Tetap ruwet.