SEBUAH KATA DENGAN LATAR POTRET ZAMAN.
Melihat iklan baris berisi lowongan itu, sendok dalam kantong kata di benak saya tersandung butiran di dasar, yang tersembunyi di lipatan. Hostess, itu kata lama yang jarang terdengar lagi.
Hostess. Saya mendengar kata itu sewaktu bocah, antara lain dari berita di media, termasuk media hiburan.
Ibu saya menjelaskan, itu berarti nyonya rumah, pasangannya host. Nyonya rumah yang di tempat hiburan berarti menemani tamu ngobrol, minum, dan dansa.
Adapun teman-teman sepemanjatan pohon, juga masih bocah, secara sok tahu bilang hostess itu seperti Tante X, wanita indo yang setiap kali menerima tamu pria tertentu langsung menutup jendela dan pintu, lalu menghalau anak-anak yang sedang bermain kelereng di halamannya.
Orang bilang, sebelum pulang tamunya meninggalkan uang. Tante itu memang nyonya rumah, tanpa suami, tapi dia bukan hostess. Dia pekerja mandiri, tanpa majikan yang bertugas sebagai pemasar (baca: pemeras), dan menjadikan rumah sebagai kantor pribadi untuk jasa khusus orang dewasa.
Sayang, katalog film Indonesianya J.B. Kristanto masih dalam kardus, padahal saya ingin mencari hostess dalam indeks. Pakde, Budi Noir OktDog, dan Iman Brotoseno mungkin ingat film lama apa saja yang ber-hostess.
Tentu, hostess juga ada dalam stok judul dalam Srimulat lama, era Pak Teguh (alm.) masih gagah, dan Sumiati masih mencorong. Herry Gendut Janarto (apa kabar?), penulis buku Teguh dan Srimulat, mungkin punya daftarnya.
Ya, hostess. Adakah yang salah dengan kata itu, dan profesi yang diwakili oleh kata itu? Mestinya tidak. Di negeri asal kata itu pun tidak.
Kemudian sebuah rezim bangkit. Modal asing, dan bantuan asing, datang menderas. Petrorupiah bertebaran. Ali Sadikin mempersilakan nite club (yang kemudian diindonesiakan menjadi “kelab malam”, bukan “klub malam”). Hostess (dan mungkin Abul Hayat) makin dikenal.
Dalam biografinya dulu, saya lupa judulnya, Dorris C. — aktris yang menjulang karena perannya sebagai pembantu sexy dalam film Nya Abbas Akup — mengungkapkan episode kehidupannya sebagai hostess.
Orang-orang di luar pusat rupiah dan jauh dari pusaran hiburan kota hanya tahu hostess dari media hiburan (termasuk halaman fiksi, dengan ilustrasi Delsy Syam Umar), tulisan ala Ali Shahab, Abdullah Harahap, dan tentu Motinggo Busye (nama asli: Bustomi Bawazier), plus obrolan salah kaprah.
Lantas hostess diindonesiakan menjadi pramuria. Ada lagu The Mercy’s, Kisah Seorang Pramuria (ada kabar, aslinya itu lagu Black Brothers dari Papua), yang sampai tahun lalu masih dibawakan oleh pengamen karaoke di dalam bus kota. Lagu itu, konon, tak boleh diudarakan di TVRI maupun RRI. Senasib dengan Kupu-kupu Malam-nya Titik Puspa.
Begitu suramkah kata hostess? Konotasi bisa mengalahkan denotasi. Pemadanan kata, sebagai pramuria, akhirnya memancing pengayaan bahasa untuk profesi lain: pramunikmat.
Atas nama kesantunan dan citra, pada tahun 90-an ada beberapa tempat karaoke (yang juga punya laser disc lagu Pramuria) menamai pramuria peneman dendang sebagai “purel” (public relations [sic!]) — bahkan tertulis dalam lembar rincian tagihan.