Berbahasa Satu Bahasa Hahaha…

▒ Lama baca 2 menit

HOW GIMANA PIYE SIH BAHASA ENDONESAH ITU?

Lihatlah kedua gambar ini. Semuanya di Jakarta. Bukan di negeri tetangga. Adakah yang salah? Tidak ada.

Terbukti toko itu punya pelanggan. Terbukti pula bus gratisan di sebuah pusat perbelanjaan itu tetap dinaiki penumpang. Tak ada yang salah, kan? Apa yang dinyatakan oleh tauke toko dan pengelola mal dipahami oleh khalayak(nya).

Toko di pecinan Glodok Pancoran Jakarta

Bagi saya, kedua foto ini adalah keping puzzle potret Indonesia. Begitu beragam dan hidup. Jadi, apa sebetulnya yang kita cemaskan tentang bahasa kita? Jangan-jangan kita pun bingung untuk merumuskannya.

bus stop, jakarta

Jika Anda pembaca setia blog nan gombal ini, pastilah Anda akrab dengan kekacauan berbahasa saya. Tak jadi soal, toh saya punya kilah, “Inilah bagian dari potret Indonesia.”

Potret yang kaya warna. Saya berbahasa Indonesia tapi dengan alur tutur Jawa — sama seperti saya membatin angka (padahal di blognya, Andry pernah mengajarkan cara berangka dalam bahasa Inggris). Sialnya, bahasa Jawa saya ternyata cupet.

Di blog ini saya juga masih menggunakan beberapa istilah asing, semisal “link” dan “links”, padahal sudah tersedia padanannya dalam bahasa Indonesia — dan sudah dipakai oleh banyak bloggers.

Meskipun begitu Imponk pernah menilai cara berbahasa di blog ini seperti karya terjemahan. Mungkin dia ingin mengatakan bahwa cara bertutur saya aneh, tapi dia terlalu sopan untuk berterus terang. :D

Jadi, apa sebetulnya yang kita risaukan tentang bahasa kita? Terbukti, seorang murid paling slengekan pun ketika berpidato dalam acara sekolah bisa menggunakan bahasa seresmi ketua partai — lengkap dengan basa-basi berkepanjangan dan hambur kata berlebihan.

Dua belas tahun lalu, atas nama peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka, nama-nama asing dilarang. Hasilnya? Orang Jakarta Barat, terutama sopir angkutan umum, lebih akrab dengan Citraland (di kaca mobilnya kadang tertulis Citralen) dan bukan Mal Ciputra.

Sebagai kata, “Indonesia” adalah sesuatu yang asing tapi kita yakini sebagai hal yang orisinal. Maka menjadi aneh jika pernah ada pelarangan nama asing untuk bangunan publik dan nama dagang (kecuali waralaba dari luar). Juga aneh, pernah ada pelarangan terhadap aksara Cina. Hari ini, pemerintah DKI masih menggunakan “busway” (dan “bus way“) dalam dokumen resmi dan rambu lalu lintas.

Baiklah kita persempit persoalannya dengan memuarakannya ke pemerintah. Bukan soal istilah asing atau serapan (dulu banyak kantor pemda ditempeli papan nama “operation room“). Bukan soal istilah kolonial dalam bidang hukum semacam gijzeling itu. Pun bukan soal istilah asing yang bermuara ke Sansekerta untuk menamai gedung, ruang, piala, dan entah apa lagi. Bukan soal itu.

Soal apa dong? Baiklah saya angkat soal lama, sudah jarang disebut. Pada akhir 90-an ada pasukan penghalau demonstran yang disebut Pasukan Huru-hara (PHH) — bukan Pasukan Anti-huru-hara (PAHH). Pers, dan orang jalanan, juga menyebutnya demikian. Jadi siapa yang mau bikin huru-hara?

Tampaknya pemerintah pun, melalui lembaga-lembaga dan personelnya, juga masih mencintai keragaman dalam berbahasa. Misalnya cara menulis gelar dalam dokumen resmi. Prof. Dr. Gombal Abalabal Bikinmual Tiadasinyal, S.E., S.H., M.A., D.St., D.L.Sb. Haruskah begitu penulisannya? Atau boleh beda, suka-suka?

Belum lagi soal penulisan nama geografis. Pondokgede atau Pondok Gede? Ah, pemerintah sudah banyak urusan, sungguh tak layak mengurusi hal-hal seperti itu. Pejabat cukup mengatakan, “Cintailah bahasa Indonesia, Saudara-saudaraku!” Klothak! Ngiiingggg… Mikropon terjatuh. Spiker mendenging.

Catatan:
Untunglah sekarang tak ada lagi spanduk “Dengan semangat Sumpah Pemuda, Kita blablabla… PJPT II… blablaba menuju era tinggal landas.”

© Foto-foto: blogombal.com

Tinggalkan Balasan