BANYAK ORANG SIH TAPI…
Seseorang di tempat jauh bertanya apakah di Jakarta orang bisa kesepian, “Soalnya kotanya kan ramai?”
Terlalu klise jika saya katakan bahwa seseorang bisa merasa tidak tertemani di tengah kebisingan, bahkan bisa merasa asing dengan dirinya sendiri .
Seseorang yang lain, dalam kesempatan berbeda, mengungkapkan kenangan saat penelitian di desa. Dalam penantian datangnya Isuzu Elf di bawah pohon itu orang akan saling sapa, wajah baru akan ditanya.
“Kenapa di halte nggak gitu?” dia sok naif bertanya.
Akan sama naifnya jika saya ganti menanya, “Memangnya sampeyan juga ngajak omong orang di halte atau penumpang sebelah dalam bus?”
Terlalu berlebihan jika saya bicara tentang kampung besar cap mega(lo)politan ini. Kota-kota lain toh mengalami juga. Memang, di kota kecil orang tak saling kenal secara pribadi, tapi sebagian warganya saling tahu tampang. Ketika sepeda tertabrak mobil, sang penolong ingat itu anak dari rumah merah di jalan sana.
Tapi ah, yang itu pun sekarang makin jarang. Kota-kota kecil setingkat eks-kawedanan juga makin sibuk. Orang berangkat kerja tak lagi bersepeda atau jalan kaki, padahal itulah kesempatan untuk menatap sekilas wajah warga lain. Helm berpenutup wajah dan film kaca mobil telah mengalangi kontak mata antarwarga.
Nun di sebuah daratan besar saya pernah melintasi kota-kota kecil, sangat kecil, bahkan ada yang warganya tak sampai seribu. Dengan naif saya beberapa kali bertanya apakah warganya saling tahu meskipun tak saling kenal? Pemilik toko roti tersenyum, dan berkata bahwa dalam dunia kecil nan damai ini tak mungkin orang saling cuek.
Tentang kesepian di kota besar, maksud saya di Indonesia, itu muncul dalam pelbagai ungkapan diri. Buang waktu sepulang kantor, misalnya. Itu adalah cara paling aman bagi wanita tertentu, bahkan misalnya sampai larut malam, untuk berada di sebuah tempat yang memungkinkan terjadinya kontak.
Jika itu tak dilakukan maka dunia hanya berisi kantor-jalan-kamar.
Kamar? Bisa kamar indekos, paviliun kontrakan, atau kamar di keluarga besar — bahkan kamar di rumah pribadi yang kamar lainnya hanya berisi pembantu (ah, apartemen menjadi lebih tepat tetapi akan semakin mengasingkan, hanya berteman TV dan bacaan, serta internet ).
Justru dalam pakaian kerja, di luar jam kantor, mereka tak hanya
tampak bukan sebagai penganggur, tetapi juga orang sibuk yang mencoba sisakan waktu untuk pribadi.
Pergi sendiri pada hari libur, misalnya ngopi sendirian malam hari, dan bukan karena mampir sepulang belanja (khusus berangkat dari rumah), kadang mengundang rasa ingin tahu dan pancingan lelaki kesepian.
Hari libur, bagi wanita tertentu, adalah saat tepat untuk belanja kecil, dari pembalut sampai cemilan. Mondar-mandir di antara rak, sambil mendorong troli, adalah kesempatan untuk menatap lawan jenis yang juga berbelanja kecil (asal bukan popok sekali pakai dan susu formula).
Hal sama berlaku di toko buku yang nyaman (apalagi berkedai kopi). Juga berlaku di toko CD musik yang memberi pilihan luas. Di sana pilihan selera dan referensi kultural orang lain akan terpotret — asal saksama mem(p)erhatikannya.
Di toko swalayan, toko bacaan, toko dengaran, dan toko lain, ada kesempatan untuk sekilas menatap wajah orang lain. Sebuah selingan yang kadang tak diakui.
Di kedai kopi memang ada banyak wajah, tapi ada penghalang bernama gengsi dan kepantasan untuk meninggalkan kursi dan mendekati meja lain. Toko memberi kesempatan untuk berjalan, berpapasan, dan tanpa sengaja mengendus aroma tubuh (dan fragrance) sehingga sisa naluri purba termanjakan…
Bayangkan jika keseharian di tempat kerja hanya memberi kesempatan berupa perjumpaan dengan orang yang itu-itu saja.
Selama bertahun-tahun. Sejak pria-pria itu masih energetik (dan bebas), bisa diajak jalan dan diskusi aneka hal, hingga akhirnya mereka jadi tambun dan makin membosankan ketika membanggakan anak-anaknya sambil mengeluhkan biaya pendidikan dan cicilan mobil serta rumah.
Celakanya selama bertahun-tahun itu pekerjaan tak memberi banyak kesempatan untuk kontak dengan orang luar.
Apa hubungannya dengan halte? Begitu banyak halte dalam kehidupan kita, tapi itu hanya pintu peluang. Halte bukanlah ruang untuk ditinggali secara tetap.
Masalahnya, di halte (dalam arti harafiah) yang sesak pun belum tentu ada yang layak tatap apalagi layak sapa — selain “maaf” dan “permisi”.
Bagaimana kalau pindah ke bawah pohon penyetopan angkutan pedesaan? Orang-orangnya ya cuma itu.
Orang optmistik selalu ingat bahwa penghuni bumi ini miliaran. Tapi orang yang kurang peka, dan suka menggampangkan masalah, akan menambahkan, “Tak ada alasan untuk kesepian.”