↻ Lama baca 2 menit ↬

SEKADAR MENERUSKAN GAGASAN NGAWUR.

iwak gombal dalam gelas

Dia masih ingat impian gombal saya belasan tahun silam. Lantas dia menyimpulkan, “Kayaknya blogombalmu itu sudah menjawab, Mas.” Kami terbahak bersama.

Mungkin, ya mungkin saja, blog-blog saya sudah menuntaskan keinginan gombal itu.

Dulu saya membayangkan mengelola media yang isinya sakarêpé dhéwé, semau saya sendiri.

Karena internet belum meluas maka yang terbayang adalah media cetak. Edisi ini bisa majalah seukuran kuarto, edisi berikutnya bisa setabloid, edisi selanjutnya bisa sebuku saku, dan bukan tidak mungkin cuma senotes kecil. Seminggu bisa terbit sepuluh kali, lalu lima bulan sekali, dan kalau perlu terbit dua tahunan.

Logo boleh gonta-ganti. Jenis kertas boleh selang-seling. Teknik cetak pun kalau perlu diselingi sablon. Majalah atau apalah namanya itu disebarkan gratis — meniru Aikon-nya Rico, pelopor majalah gratisan untuk kafe.

Isinya pun gonta-ganti sesuka hati. Edisi ini ngomong hermeneutika (mungkin ini sebangsa tongseng, yang penting kelihatan terpelajar). Edisi berikutnya hanya berisi TTS (berhadiah pula). Edisi selanjutnya hanya berisi foto-foto stiker di angkot (tanpa pembahasan).

Lantas sesudahnya ada edisi berisi cerpen yang nyastra banget (entah yang bagaimana). Kemudian disusul edisi yang isinya paparan penelitian antropologis.

Setelah itu isinya cuma puisi. Selanjutnya cuma komik. Dan berikutnya ada edisi stylish yang nggak bakalan dinista oleh kaum fashionista.

Lalu nongol edisi berupa kliping berita kriminal (tanpa kajian sok pintar) dengan bonus video pertandingan catur yang diambil dari kamera diam.

Tentu media macam itu tak bisa diisi sendiri. Tugas saya, eh kami, cuma penjaga gawang.

Apa ada yang mau baca bahkan mengoleksi? Kami waktu terbahak-bahak.

Dari mana biaya cetaknya? Kami tertawa bersama.

Dari mana duit untuk bayar honor termahal? Lagi-lagi kami terpingkal mentertawakan diri.

Waktu itu belum ada Pantau (versi lama) kelolaan Andreas Harsono et.al. yang membayar honor berdasarkan jumlah kata. Tapi kami pingin kasih honor termahal.

Cita-cita naif. Impian kenthir. Mencuat karena media tempat bekerja, dan media lain, tak pernah bisa menampung keinginan hati. Setiap media punya pakem dan konsep produk, tidak bisa zig-zag seenak udel.

Lalu impian itu larut bahkan lenyap. Terlupakan.

Kemudian datanglah blog. Isinya bisa melulu teks, bisa juga pakai gambar. Topiknya bisa beragam. Dan muncullah ungkapan entah bersyukur entah meledek, “Kayaknya blogombalmu itu sudah menjawab, Mas.”

Itu pun dengan tambahan, “Ketoké kowé hepi karo blogmu, Mas. Enjoy banget ngono lho.” (Kayaknya kamu hepi dengan blogmu, Mas. Enjoy banget, gitu lho).

Benarkah? Dalam beberapa hal iya. Sejauh ini saya hepi dan menikmati. Tentu sesekali bosan bahkan lupa. Sama seperti Anda terhadap blog ini.

Terima kasih Anda telah singgah. Mestinya nama blog ini Sudimampir.

NB:
[1] Salah satu orang yang ingat gagasan tak bermutu ini adalah F.X. Rudy Gunawan. Pakabar Dab?

[2] Rombongan sirkus gombal: Blogombal, Gombalabel, Gombalkartu, Gombalbarang, dan… Memo Blogombal :D

© Ilustrasi: Paman Tyo/Blogombal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *