ALANGKAH SULITNYA MENYATAKAN DIRI SAMBIL MENDIDIK.
Berat tugas guru IPS sekarang. Ada banyak komisi dan badan di pemerintahan padahal itu harus dijelaskan dalam kelas. Meminta murid buka internet? Boro-boro internet. Bangunan sekolah saja ada yang tak sekuat set dalam pembuatan film dan foto iklan. Bahkan kalah kokoh dibandingkan kandang sapi.
Maka tugas komisi ini-itu mestinya juga mengedukasi khalayak. Nyatakan diri sebagai apa dan siapa, bagaimana kerjanya, lantas jangan lupa janjikan manfaatnya buat rakyat. Jangan kalah sama iklan obat mencret, dong!
Setiap kali melihat “iklan edukatif” Komisi Ombudsman, saya tetap bingung. Dulu, waktu pertama kali melihat, saya pikir itu foto penyair temannya Hasan Aspahani sedang beraksi di pentas.
Iklan yang membingungkan tentang orang bingung. Tidak mengundang rasa ingin tahu lebih lanjut. Pilihan pembaca cuma satu: abaikan.
“Ombudsman”, nama yang kurang akrab bagi telinga banyak orang. Istilah ini tak seberterima “verifikasi”, “klarifikasi”, “nominasi”, “nominator”, “nomini”, “audisi”, “alibi”, dan “nuansa” — lengkap dengan segala kesalahkaprahannya.
Sampai tahun 80-an, oh sampai awal 90-an, “ombudsman” lebih sering muncul dalam seminar dan tulisan kolumnis. Mendiang M.A.W. Brouwer dulu, kalau saya tak salah ingat, termasuk orang yang beberapa kali menyebut “ombudsman”.
KPK dan BNN lebih kreatif. Maksud saya lebih beruntung. Kampanye mereka dibantu oleh orang-orang kreatif. Komisi Ombudsman mestinya bisa menggandeng orang-orang kreatif yang budiman.
Lantas “ombudsman” itu dari bahasa apa, di negeri mana, dan bagaimana sejarahnya?
Bukan tugas saya menjelaskan karena saya bukan guru IPS. Mestinya itu tugas Komisi Ombudsman. Carilah di situsnya penjelasan itu. Semoga halaman FAQ dan About Us bisa memuaskan Anda.
Adapun soal “visi” dan “misi”, berikut perbedaannya, ada baiknya para birokrat kita menengok situs lembaga pemerintahan asing seperti CIA. :D