PADAHAL INI KESEMPATAN SALING MEMAAFKAN…
Perut semakin lapar, petang sudah menjadi malam. Maka pengambilan keputusan dalam rombongan perut kosong terkadang ikut diktator saja, dalam hal ini sopir.
Kami, kemarin malam, singgah ke ke kedai di Bogor itu. Antrean tak panjang. Parkiran tak berjejal. Kami duduk, memesan. Bolak-balik pramusaji keluar dari dapur, “Yang ini habis tuh.” Lalu nongol lagi, “Yang itu juga habis.” Padahal kami dulu ke sini tiada masalah.
Setengah jam berlalu. Minuman tak kunjung muncul. Maka saya panggil pelayan, “Mas, tolong ya, yang namanya di minuman di rumah makan mana saja itu dikeluarin dulu.”
Setelah mengiyakan, dan masuk ke dapur, dia keluar lagi. Tanpa baki. “Jeruk panasnya habis,” katanya.
Kami tahu, lima belas menit sebelumnya baki berisi minuman yang serupa pesanan kami sudah dibawa keluar tapi dibawa masuk lagi untuk dirapatkan. Baki itu keluar lagi, isinya cuma dua minuman, untuk dua tamu di meja lain yang datang belakangan.
Tak apa. Ngalah saja. Tampaknya orang di meja lain itu kelelahan, apalagi membawa orok.
Akhirnya minuman keluar. Sudah dingin, wong jadinya sudah lama.
Kami maklum, pada hari raya, tepatnya hari kedua Lebaran, banyak kedai diserbu orang, dan stok cepat habis. Maka saya, dan istri, memanggil kasir, yang menjadi kordinator pesanan, untuk memberi sekadar ceramah kecil, tanpa meledak-ledak.
Intinya adalah pemakluman kami plus mengingatkan agar informasi menu apa saja yang sudah habis disampaikan lebih awal. Dia mengiyakan. Manggut-manggut, tapi mukanya kesal.
Sepuluh menit kemudian orang dari dapur keluar. Tanpa baki. Bisik-bisik di meja kasir. Kami panggil dia, lalu saya tanya, “Masih lama nggak, Mas?”
Jawabannya merdu, “Nasinya habis.”
Perut kosong, asam lambung yang merambat naik, gelembung udara yang terus mendesak jakun, mengantarkan saya kepada tawaran untuk anak dan istri, “Kita pindah saja yuk… Cari tempat lain.”
Kali ini mereka menolak. Rasa lapar telah menyandera mereka dalam kepasrahan sekaligus kekesalan. Keputusan untuk berpindah tempat adalah eksperimen yang layak tolak karena belum jelas hasilnya.
Ini seperti mengurusi negara dan organisasi. Keputusan jangka pendek lebih masuk akal. Pemungutan suara adalah buang waktu dan energi. Para diktator paham itu, sehingga darurat menjadi default. Tapi jangan lupa, dalam situasi tertentu, setiap orang bisa jadi diktator. Kalau hasilnya bagus maka dia dibilang telah bertindak tepat, penuh kepemimpinan. Kalau hasilnya buruk dia akan dikutuk tujuh pangkat tujuh turunan.
Ketika saya muda, situasi macam ini saya atasi dengan gampang. Panggil pemilik kedai, bayar penuh semua makanan yang terpesan (padahal belum jadi), kemudian tinggalkan tempat.
Seseorang bilang, cara sok pri(y)ayi Jawa itu tidak cocok dengan zaman, hanya betsi (beda tipis sekali) dengan kepongahan-sekaligus-kebodohan. Para pemilik kedai malah senang dan untung kalau ada orang semugih yang kemlinthi. Mereka tahu, si kemlinthi setelah jadi pri(y)ayi kagetan kembali jadi kere karena uangnya sudah habis.
Orang yang lain lagi punya saran yang kurang berbudaya tapi menurutnya efektif. Panggil pemilik kedai atau kepala pelayan, siramkan sambal ke wajahnya, lalu tinggalin duit. Waktu saya muda saja tak ada nyali untuk beginian, apalagi setelah tua.
Nah, karena saya tidak sugih dan sudah berkurang kemlinthinya, maka saya minta pelayan menyajikan pesanan yang sudah jadi. Lalu keluarlah potongan ayam kurus yang sudah dingin — iya, sudah jadi sejak tadi.
Lantas pelayan datang lagi, mengabarkan satu pesanan yang ternyata sudah habis, padahal tadi dibilang ada. Tak lama kemudian menyusullah nasi ketika ayam hampir habis.
Selalu saja ada situasi sulit yang merebus batas kesabaran. Pakde Totot melakukannya dengan perlawanan ala wong cilik: mengancam untuk mutung.