Cerita Lebaran #4: Spanduk

▒ Lama baca < 1 menit

CETAK DIGITAL KIAN MERAKYAT.

spanduk lebaran

Makin lumrah saja perorangan, bukan lembaga atau kumpeni, pasang spanduk ucapan selamat hari raya. Banyak wakil partai, yang menyebut diri wakil rakyat, menebar spanduk, terutama di wilayah konstituen, lengkap dengan logo partai. Bupati dan walikota, juga para calon, pun memasangnya. Tak hanya spanduk tapi juga baliho.

Kalau permukiman pasang spanduk, itu juga sudah mulai biasa. Tanpa sponsor berupa logo perusahaan. Swadaya, begitulah.

spanduk lebaran rtPerkembangan terbaru, di kompleks saya juga ada spanduk ucapan selamat. Terbikin oleh RT. Dicetak secara digital di atas vinyl. Modern kan? :D Cocok untuk saya yang TV-nya sudah berwarna.

Cetak digital kian dan terus memurah. Sampai akhir abad lalu, terutama setelah krismon, cetak digital adalah mainan mewah. Plotter, large printer, wide-format printer, atau apalah namanya, berikut perbekalannya, adalah barang mahal.

Kini penjual soto, warung bakso, dan kios pulsa di gang sempit pun sudah memakai produk cetakan digital. Pembuat spanduk dan umbul-umbul (dengan kuas, bukan sablon) kian terpinggirkan. Demonstran saja sekarang bawa spanduk dan plakat hasil cetakan digital.

Cetak digital telah mendatangkan penyesalan bagi para bekas pembuat poster di kampus tahun 80-an. Mereka dulu meracuni diri dengan lichtdruk (diazo printing), setelah berkutat di meja gambar dengan kertas kalkir, spidol, rapido, dan kadang Pylox hitam. “Kenapa dulu belum ada?” begitu getun mereka.

Selain lichtdruk, mereka dulu juga mengandalkan fotokopi ukuran besar dan sablon. Melelahkan. Padahal baru lima menit terpasang sudah dicoreti orang.

Cetak digital juga telah meminggirkan seni cat semprot (airbrush) pada mobil boks dan bilbor. Saya ingat, pada 1999 mendapati mobil boks bergambar iklan kasur pegas. Modelnya adalah Marissa Haque. Wajah Marissa, di kanan maupun kiri dinding boks, berbeda. Maklum hasil pekerjaan manual. :D Saya tahu itu Marissa karena pernah melihat versi cetak offset-nya di brosur.

Cetak digital juga mulai menggusur, meski baru sedikit, baliho bioskop. Dengan cetak digital, file gambar bisa disebarkan ke sejumlah pencetak, bahkan yang berlainan kota, dan hasilnya bisa seragam.

Baliho di atas kain kanvas, yang dikerjakan dengan kuas secara manual, pakai panjat-memanjat segala? Justru di situ seninya. Wajah aktor, tipografi, bahkan penulisan nama, bisa dikemas lebih demokratis. Beda studio beda hasil. Seolah seragam, padahal beragam.

Tinggalkan Balasan