Cerita Lebaran #3: Akua cap Aqua

▒ Lama baca < 1 menit

TERUS SEDOT, SAMPAI KEMPOT. :D

aqua gelasApa yang tak ada waktu saya kecil diajak bertamu sekarang ada di setiap banyak rumah tangga. Termasuk saat hari raya — artinya tak hanya Lebaran. Ya, “aqua gelas”.

Berupa air dalam kemasan, tapi sering disebut sebagai “air mineral” atau “aqua” (mengikuti merek Aqua), minuman macam ini juga ada di layatan dan kotak katering. Praktis, lebih sehat, lagi pula tak semua orang doyan — atau boleh — minum manis terus-terusan.

Menyediakan minuman, termasuk air putih, dalam gelas akhirnya merepotkan tuan dan nyonya rumah. Setelah tamu pulang, pemilik rumah harus segera mencuci gelas, padahal tamu berikutnya dan berikutnya datang, bergantian.

Hal serupa berlaku untuk teh, atau juga kopi, dalam cangkir — lengkap dengan tatakannya. Akan melelahkan, apalagi saat pembantu rumah tangga mudik. Sungguh sangat Indonesia: tergantung pada pembantu. :D

Kembali ke “akua gelas”, ya. Bagi saya ini adalah potret Indonesia. Yang namanya “air minum” atau waterleiding ternyata tak layak untuk langsung diminum. Kamar-kamar hotel, selain memasang peringatan, juga menyediakan air botolan sebagai complimentary.

Orang yang berlangganan P(D)AM maupun mengandalkan sumur akhirnya sama-sama harus menjerang air, termasuk air untuk dikulkaskan. Sampai sekarang saya kurang tahu bagaimana pabrik es batu, pada masa pemilikan kulkas belum meluas, mendapatkan air. :D

Jalan pintas yang lebih praktis bagi konsumen adalah membeli air botolan. Ketika bensin masih disubsidi, apalagi tahun 80-an sampai 90-an, harga air ini lebih mahal daripada BBM.

Sampai awal 90-an, masih ada kantor, bagian dari grup usaha besar, yang menyediakan ceret berisi air putih. Ada dapur umum yang memasok ceret berisi teh (manis, kental, dasar Jawa!) dan ceret berisi air putih.

Kemudian diadopsilah dispenser dan air galonan melalui pemasok. Ceret teh pun akhirnya hilang, digantikan oleh teh celup, dispenser, dan electronic boiler.

Pada gilirannya rumah tangga pun tertular. Mereka mengonsumsi air dalam kemasan, termasuk “akua gelas” untuk menjamu tamu. Menjelang hari raya banyak rumah tangga berbelanja sekian kardus “akua gelas”.

Tapi untuk saya pribadi, yang praktis belum tentu enak. Minum air putih paling nikmat adalah dengan nyucrup dari gelas atau nenggak dari botol. Air melewati bagian luar bibir dan kemudian ujung lidah. Sensasi primitif ini masih melekati saya.

Repotnya “akua gelas” lebih dirancang untuk diminum pakai sedotan. Kuping selaput penutup gelas seringkali sulit untuk diangkat. Mau tak mau harus menyedot. Para tetamu di keluarga Indonesia, termasuk hari raya, kayaknya pada kempot pipinya.

Tinggalkan Balasan