SAYA SIH BELUM SAMPAI KE TINGKAT “SUFI” :)
Sepekan sebelum Lebaran, pengurus RT sudah mendata siapa saja yang akan mudik sekeluarga dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Sebuah kesiapsiagaan yang wajar. Orang belajar dari pengalaman, kan?
Satpam lingkungan juga diwanti-wanti untuk meningkatkan kewaspadaan menjelang, selama, dan sesudah Lebaran. Apa boleh buat.
Tetangga sebelah saya, yang mudik, menitipkan kunci kepada keluarga saya. Juga meminta, kalau kami sempat, mengurusi tanamannya. Sebagai imbalan (selain oleh-oleh, hehe) kami boleh memakai carport-nya untuk kendaraan kami. Yah begitulah hidup bertetangga. Saling bantu.
Benarkah Lebaran cenderung meningkatkan kejahatan?
Nanti dulu. Masalahnya bukan pada Lebaran tapi hari raya yang tentu saja dirayakan. Dirayakan dengan tuntutan belanja bagi orang tertentu, sehingga bisa menyesakkan yang kurang uang dan suka jalan pintas. Dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga besar di luar kota atau daerah asal, sehingga rumah akan kosong dan mengundang orang jahat.
Karena menyangkut hari raya, maka Natal pun bisa begitu. Ada kebutuhan untuk beli dan itu. Ada dorongan untuk tinggalkan rumah. Semuanya, bagi orang tertentu, mempersubur peluang untuk berlaku jahat.
Polisi dan kriminolog punya sejumlah data dan anjuran pengingat sekitar hari raya. Baiklah, itu sesuai bidang tugas dan keahlian mereka.
Pada tingkat personal ada hal yang sering menggundahkan kita. Dalam batas apakah kita sebetulnya siap kehilangan barang-barang — yang kita peroleh dengan (ibaratnya) darah, keringat, dan air mata — sebelum kita kemalingan?