Buatku bukan soal kalau majalah berita kasih sisipan fashion & style. Time sudah melakukan beberapa kali, terakhir pekan lalu. Tempo juga pernah. Lebih dari semua itu, media “serius” memang punya rubrik fashion dan editot maupun kolumnis fashion. Dulu Suzy Menkes di IHT kan kayak Derek Malcolm di Guardian, yang satu ngomongin fashion, yang lain kasih catatan tentang film — lantas pembaca yang sok tahu akan bilang halah nulisnya cuma gitu aja kok.
Apa masalah sampeyan? Karena pernah jadi berita, bahwa beberapa redaktur fashion di Amrik pinjam busana dari desainer tapi telat bahkan lupa balikin?
Oh bukan ya? Menurutmu “koran serius” dan “majalah serius” cukup punya rubrik fashion saja, nggak perlu sampai kasih “bonus” berupa edisi dobel “yang nggak mencerdaskan”.
Ehm. Apa ukuran cerdas, kecerdasan, dan mencerdaskan, Kawan?
Gini aja, aku bicara soal lain. Kalau melulu hard news, koran dan majalah itu sudah dihajar oleh TV dan kemudian internet. Kedalaman dan sudut pandang yang tajam? Itu baru sisa peluang, selain karakteristik media yang bisa dipegang dan dibawa ke toilet sambil duduk ala The Thinker-nya August Rodin.
Selebihnya, ketika orang jenuh dengan politik yang memuakkan, adalah leisure. Dari segi bisnis, “bonus” macam itu juga lebih menjanjikan bagi penerbit karena bisa mengail iklan.
Memacu hasrat konsumtif? Tanpa konsumsi, apa artinya produksi dan mata rantai ekonomi yang sehat?
Semua terpulang kepada kita, dalam ranah apa kita konsumtif, bahkan hedonistik, tapi tahu batasnya agar nggak kelewat merugikan alam, dan dalam ranah macam apa kita punya jalur asketik sendiri, syukur kalau ditambah jalur altruistik atau filantropik sendiri.
Memuakkan, katamu. Ya, ya, aku nggak menyalahkanmu. Tapi aku boleh bertanya kenapa kamu selalu sinistik terhadap industri, high mass consumption, gaya hidup urban, tapi sejak SMA (bahkan SMP) kamu hanya mau pakai Levi’s?
Ketika Nike, melalui jaringan perakit di luar Amrik, memeras buruh — bahkan di Vietnam pernah kasih pil pahit “pilih mana, para wanita itu kembali jadi pelacur atau jadi buruh dengan upah rendah?” — kamu pura-pura nggak tahu. Setidaknya itu kesanku terhadapmu, Kawan.
Kamu mestinya tahu, Levi’s 501 tuh oleh kantor pusatnya pernah diorder ke industri garmen Indonesia tapi maunya seharga US$ 6 per potong.
Kamu dari dulu nggak berubah. Sinis, radikal, tapi sering menutup mata. Kamu cintai produk-produk Nestle, bahkan untuk memanjakan anjingmu dengan Alpo, sambil mengutuk kapitalisme. Saat itu kamu melupakan bahwa kebun kopi dan cokelat, dan ladang gandum, yang memasok Nestle itu luasnya melebihi Swiss.
Terakhir, setiap kali ada pemusik indie loncat ke major label, kamu kuciwa, lalu gusar.
Kamu mestinya ingat ledekanku, itukah yang disebut hidup sederhana dan merakyat, tapi habiskan jutaan rupiah untuk keping-keping CD impor, bahkan bila perlu inden? Aku nggak berani bayangkan budget untuk audiomu, Kawan.
Kamu masih saja ngetawain orang memborong baju reject dan palsu di factory outlet sebagai korban jaringan kapitalis.
Susah ya, jadi orang radikal setengah hati. Atau sepertiga hati, Kawan?