YANG LEBIH BUTUH BELUM TENTU TERSENTUH.
Saya hanya diam. Bukan hanya karena menyimak penuh tetapi juga gundah. Dua anak muda itu, yang bekerja di tempat berlainan, sampai kemarin mengaku belum dapat THR.
Di tengah keriuhan tawa orang lain bersantap dan kepulkan asap, malah mungkin menjadikan THR sebagai obrolan lucu dan ledekan untuk ponsel baru, salah satu anak meminta tolong saya, “Yah, maap aja, saya bingung nih. Gimana caranya hubungi mereka itu terserah Mas Tyo. Saya butuh THR.”
Saya sangat paham uang itu amat berarti baginya. Setamat STM dia bekerja apa saja. Uangnya untuk menghidupi diri dan adik perempuannya, di sebuah kampung padat kumuh yang tetangganya doyan tawuran sehingga mungkin masuk peta di markas asuransi mobil — selain peta di markas polres.
Ayah anak muda itu sudah menikah lagi dan tak pernah mengurusi keluarga dari istri pertama. Tentang ibunya saya tak dapatkan banyak cerita sejak dulu dan saya tak enak hati untuk menyelidik.
Sekarang dia bekerja untuk sekadar dapatkan uang pengganti transpor harian — kecuali ada pekerjaan tambahan, tapi itu pun seperti umumnya blog: tidak bisa dijanjikan kapan ada (lagi). Jumlahnya tak seberapa bila dibandingkan tarif tol dan ongkos parkir orang bermobil yang pergi jauh untuk ngopi, memanfaatkan Wi-Fi, dan ngobrol atas nama bisnis, lalu pulang dengan jejak gesekan tipis lipstik pertemanan di pipi.
Anak muda kedua jadi kurir tanpa gaji, hanya andalkan komisi dari jumlah alamat. Bukan alamat antar, tapi alamat tagih berupa dokumen fotokopian KTP dan sejenisnya untuk pendaftar kartu kredit. Rp 15.000 per alamat. Dalam sehari bisa cuma dua alamat, itu pun berjauhan, sehingga dia selalu tekor uang bensin untuk motornya sendiri yang jadi modal kerja. “Dibilang, perusahaan belon mampu kasih THR, Mas,” katanya. Untunglah istrinya, yang belum kunjung hamil, bekerja di rumah konveksi. Ada penopang untuk hidup bersama.
Terlalu kejam jika katakan salah sendiri kenapa bekerja di tempat kering dan berduri. Juga kejam jika kita katakan siapa bilang tiada lapangan kerja, buktinya setiap hari ada iklan lowongan.
Ketika mendengar berita ada ribuan buruh belum terima THR, kita memang bersedih. Tapi ketika menghadapi sendiri, semua berita itu hanya menjadi latar. Ketika THR menyangkut orang yang kita kenal, ketika THR mencakup orang yang memercayai kita…
Saya tak paham rumus remunerasi. Mau THR ditabungkan atau ditalangi, itu adalah hak pekerja. Hanya terima THR Lebaran untuk muslim, atau THR Natal untuk nasrani — atau kedua jenis THR untuk semua pekerja — yang penting haruslah ada.
Layakkah kita katakan jika setiap orang menjalani hari-hari sebagaimana adanya dan biasanya, maka hari raya tak harus disertai hidangan lezat dan busana anyar?
Saya memang sering diaggap sekular dan suka profan, tapi bagi saya pertanyaan itu lebih cocok untuk mereka yang ber(ke)lebihan, yang lupa berapa jumlah sepatunya tapi selalu ingat kakinya cuma dua, juga untuk yang ingat jumlah koleksi arloji krononya tapi selalu lupa untuk tepati waktu.
Untuk orang-orang bersahaja yang mencoba menjalani hidup sewajarnya, bubungan harga dan biaya menjelang hari raya adalah cekikan. Layakkah mereka diimbau agar jangan bermewah diri?
Hidup ini tak hanya menghadirkan lelucon pelipur lara, melainkan juga tamparan pedas. Saya teringat suatu siang tahun lalu, dua hari menjelang THR, ketika dua gadis melompat lalu berpelukan di depan ATM. Setelah mengucap “alhamdulillah…” bersamaan, mereka tersadar dan malu karena jadi tontonan pengantre. Sempat terdengar kata “te-ha-er” dari mulut mereka.
Itu bukan tontonan memalukan. Saya ikut senang — tanpa girang, karena bercampur haru, sekaligus tertampar karena (waktu itu) masih terima THR Lebaran lebih dini (padahal saya Natalan, dan akan terima THR lagi).
Pengantre lain juga ikut senang. Hawa kelegaan menguar dalam bilik kaca berisi jejeran ATM.