↻ Lama baca 3 menit ↬

ALANGKAH KASIHANNYA PETUGAS YANG TERJEPIT.

gagal bayar di klikbca.com

Berurusan dengan perusahaan tertentu, BUMN pula, kadang kayak berurusan dengan preman. Sepihak, mau menangnya sendiri. Dulu zaman sekolah, pernah saya minta penggantian pembayaran yang berlipat-lipat akibat tagihan yang ngawur. PLN menolak, dan sebagai bukti korektif, restitusi dikompensasikan ke bulan-bulan berikutnya. Tanpa denda maupun bunga terhadap kelalaiannya sendiri.

Hal yang sama berlaku pada tagihan PBB yang berlebih karena penetapan luas lahan maupun bangunan pakai ilmu kebatinan. Saya diminta menempuh mata rantai yang melelahkan untuk mengoreksi.

Lho, yang salah dia kok yang repot saya? Kalau diekstremkan, ini seperti nestapa korban penculikan oleh militer. Sudah diculik, disiksa, dinista, sampai berkurang kewarasannya, eh… masih diharuskan melindungi penculik.

Kembali ke soal tagihan tadi, kenapa kelebihan pembayaran tak dikembalikan secara tunai? Jawaban sakti mesin birokrasi di mana pun adalah: “sistem” yang ada nggak memungkinkan begitu. Huh, sistem. System of a Down ‘kali?

sms dari plnBeberapa kali PLN kasih surat cinta bulanan. Isinya peringatan untuk melunasi. Kalau bandel maka sambungan setrum akan dicabut.

Lho, kan sudah bayar? Si petugas enteng saja bilang, “Tugas saya kan hanya nganter surat, Bos. Yang tahu sudah bayar atau belum itu bagian lain.”

Ini sesuai ajaran manajemen gombal. Urusilah dan bertanggung jawablah hanya pada pekerjaan menjadi jatahmu.

Kemarin telepon saya ditutup oleh Telkom selama dua hari. Memang secara administratif saya salah karena telat bayar. Kenapa telat, karena beberapa kali transaksi secara online ditolak oleh bank. Penyebabnya: hubungan dengan pusat data penagih bermasalah.

Memang, ada beberapa penagihan via bank yang berlaku di atas tanggal 10. Tapi kalau di atas tanggal 10 gagal melulu, apakah konsumen salah?

Jawaban semprul cocomeo sontoloyo tentu saja seperti pasal perjanjian yang memang sudah default. Konsumenlah yang bersalah karena membiarkan diri sial.

Saya, dan orang rumah, menguras pulsa ponsel untuk mengontak Telkom. Jawabannya sangat robotik. “Kami usahakan”. “Akan kami proses”. “Akan kami teruskan”. Dan seterusnya. Tanpa kata maaf. Padahal ucapan maaf, meskipun robotik, bisa melunakkan konsumen.

Terakhir, Selasa malam lalu, saya kontak lagi Telkom. Saya mencoba sabar. Tapi jawaban si petugas sangat mengesalkan. Saya tanya kapan sambungan normal lagi, jawabannya, “Boleh minta data Bapak?”

Aneh. Ketika melayani saya di awal, dia menanya nama dan nomor telepon saya lalu mengecek ke komputernya. Setiap saya desak kapan, jawabannya, “Boleh minta data Bapak?”

Jangan-jangan perlu ada chip yang dicabut dari kepalanya. Maka saya pun dengan jelas menanya kata demi kata, “Apakah Anda pernah tamat SD? Kalau ditanya kapan, maka jawabannya waktu.”

Akhirnya dia bilang, “Tidak sampai satu kali dua puluh empat jam sambungan telepon Bapak sudah normal lagi.”

Saya bilang, “Baik. Saya catat. Kalau janji terlanggar apakah Anda bersedia saya permalukan di koran sebagai penipu? Bukan menulis surat pembaca, tapi saya pasang iklan?”

Aneh. Bagaimana sih Telkom merekrut orang? Jawabannya bukan bersedia atau tidak bersedia melainkan, “Boleh minta data Bapak?”

Saya ulangi lagi pertanyaan saya, jawabannya sama: “Boleh minta data Bapak?”. Akhirnya saya kasih penyela (bukan pencela), “Apakah Anda merasa cukup cerdas untuk bertugas di bagian ini?”

Kali ini Si Humanoid bertanya secara human, “Maksud Bapak?” Eh ralat, itu bagian dari program yang ditulis untuknya.

Maka saya ulangi lagi pertanyaan dia tentang kesediaan itu, dengan tambahan, “… dan akan saya nistakan Anda dengan segala cara sampai keluarga dan mertua Anda malu dan menderita?”

Ajaib, loop pada alur pemrograman tetap berjalan. Dia menanggapi, “Boleh minta data Bapak?”

Saya ulang lagi, namun saya sekarang lupa apakah saat itu sudah menambahkan disklaimer, “…tapi Anda nggak boleh menggugat saya atau membalas…” Jawaban yang saya harapkan pun keluar dari mulutnya, “Terserah Bapak…”

Jawabannya lirih. Tidak garang. Tidak menantang. Mungkin pembawaannya memang begitu. Mungkin pula memang dilatih. Mungkin lelah.

Hari itu yang menelepon dan mengeluh, bahkan marah-marah, pasti bukan cuma seorang. Hari itu dan hari-hari lain, dia harus menerima tumpahan kekesalan, karena dia memang digaji untuk itu demi nama baik perusahaan. Hari itu, hari sebelumnya, hari esoknya. Keluhan. Amarah. Cercaan. Hinaan.

Setelah itu saya menenangkan diri dan merenung. Taruh kata janji tak terpenuhi, layakkah saya menista dia sejauh itu? Sama saja saya dengan preman dan korps militer penculik.

Saya ingat ada orang alim pendiam yang ketika dikecewakan petugas macam itu tiba-tiba punya niat aneh sesaat: memisahkan kepala dari badan, dan kalau pun orang itu mati maka itu bukanlah tujuan — salah sendiri kenapa pendek nyawa.

Sangat mengerikan jika amarah dibiarkan menjadi cangkul penggali dorongan purba nan biadab. Pengiklanan di koran juga kejam, hanya saja caranya lebih “sadar media” dan seolah berbudaya.

Dia, dan orang sejenis di ujung tombak pelayanan, hanyalah pegawai yang menjadi korban dari atasannya, dan atasannya lagi sampai tingkat CEO, yang tak mampu menangani organisasi dengan baik.

Ada simpul kendali lintas-departemental yang tak sepenuhnya mereka kuasai karena itu memang bukan wewenangnya. Kalau sistemnya buruk, haruskah mereka yang bertanggung jawab?

Ini bukan persoalan BUMN yang mimpi jadi world class operator atau kumpeni swasta biasa. Di mana pun penyakit ini ada, dan ujung-ujungnya petugas ujung tombak yang kena getah.

Mereka terjepit di antara amarah konsumen dan ketidakhirauan bos yang merasa masih berada di taman firdaus, dengan satu solusi abadi untuk anak buah, “Ya gimana pinter-pinternya elu njawab buat nenangin konsumen dong!”

Lebih dari 24 jam telepon belum tersambung lagi. Saya masih jengkel, tapi lebih tenang. Kalau saya jadi dia mungkin juga akan berlaku serupa.

Tadi pagi telepon normal lagi. Sampai sore tadi setidaknya sudah ada empat telepon masuk dari beberapa bagian di Telkom, termasuk dari Pondokgede, menanyakan apakah telepon sudah beres. Agak mengganggu juga. Orang lagi tidur harus menjawab hal yang mereka sudah tahu. Tapi yah niat mereka kan sok baik, jadi ya diterima saja.

Yang terakhir, setelah mengulangi permintaan maaf, si petugas sekalian memberitahu tagihan bulan ini. :D

Lantas, siapa nama petugas yang bikin saya marah dan kemudian menyesal itu? “Nama saya Tyo, Pak. Ya, betul, Tyo. Itu call sign saya saat bertugas.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *