TENTANG KITA DAN BENDERA.
Seperti bendera kapal bajak laut yang keok dihajar armada kerajaan. Ingatan komikal itu muncul kemarin saat mata saya memergoki bendera Carrefour di pucuk atap Mal Puri Indah, Jakarta Barat. Mungkin bendera itu dicabik oleh cuaca dan waktu.
Tidak, tidak. Saya tak hendak menyamakan Carrefour dengan perompak atawa lanun. Saya juga tak mempersoalkan kenapa tidak ada petugas yang diperintah untuk memanjat genteng — tak seperti hotel berbintang tiga ke atas yang lebih merawat benderanya.
Tentu, bendera compang-camping itu urusan internal Carrefour. Tidak ada hubungannya dengan konsumen. Bahwa dinas pendapatan daerah, siapa tahu, tetap memajakinya sebagai reklame, sama seperti terhadap spanduk promo obralan, itu juga bukan urusan kita. Suka-suka para tuanlah.
Tapi ingatan saya hinggap ke sana-sini. Tentang bendera, ya bendera apa pun, dalam pengertian harafiah, bagi orang tertentu adalah urusan hidup dan mati. Ketika sampai di situ urusannya bukan lagi harafiah melainkan simbolis.
Ketika berkait dengan hidup dan mati, persoalannya bukan lagi nilai intrinsik bendera — dari harga kain, ongkos jahit, sampai sablon atau bordir. Ini soal klaim tentang keberadaan sebuah kelompok.
Keberadaan bendera (dari bahasa Portugis “bandeira“) menuntut pengakuan — dan penghormatan. Menurut siapa? Menurut yang punya bendera, dong. Kalau si empunya bendera dan para pemandangnya punya ukuran yang sama dalam memperlakukan bendera, maka urusannya aman dan lancar. Kalau tidak, bisa ruwet.
Bagi saya, bendera adalah temuan kuno dan hebat manusia dalam menentukan penanda visual yang mewakili dirinya dalam sebuah teritori. Sebelum mengenal kain mungkin manusia menggunakan daun, atau tonggak kayu, atau tumpukan batu.
Dari sebuah bendera, saya belajar banyak hal. Waktu SD saya heran kenapa pada 4 Juli wong Amrik di dekat rumah saya mengibarkan bendera merah-putih dan bintang-garis dalam tiang dan tali yang sama, dengan ketinggian yang sama. Ibu sayalah yang kemudian menjelaskan artinya kepada saya.
Dari seseorang yang bermukim di negeri dingin, saya mendapat cerita tentang pengibaran bendera kebangsaan sebagai ungkapan pribadi. Misalnya karena anaknya lulus sekolah.
Si penutur, dengan lugunya, bertanya apakah kalau anaknya tak lulus maka si tetangga akan mengibarkan bendera setengah tiang? Jawabannya adalah wajah cemberut karena tersinggung.
Si tersinggung itu, setiap kali TV-nya menyiarkan tayangan pengibaran bendera dengan iringan lagu kebangsaan, langsung beranjak dari sofa, lalu berdiri dengan sikap sempurna. Tak ada yang menyuruh maupun menghukumnya. Dia pun bukan orang ultranasionalis, ultrakanan, atau aliran sempit-dan-keras lainnya.
Jangan main-main dengan bendera, kata si bijak. Ketika persoalannya menjadi serius, apalagi motif dasarnya memang serius, itu jelas bukan main-main. Repotnya kita kadang tak tahu batasnya.