↻ Lama baca 2 menit ↬

MARI BERCELANA PANJANG, SODARA-SODARA!

celana pendek zaman revolusi

Polisiwan gagah tegap di gerbang markasnya itu menanya apa keperluan istri saya. Dia pun bersedia membantu, “Mari, Bu. Anak buah saya akan antar Ibu. Tapi maaf… Bapak tidak boleh masuk soalnya…”

Saya pun menukas, “Ya, ya. Saya tahu. Karena saya pake celana pendek kan? Padahal ini sudah rapi lho Mas, wong saya pakai baju, bukan kaos. Yah, saya tunggu di warung sana ajalah.”

Polisiwan bilang, “Terima kasih atas pengertiannya.”

Saya mengerti. Seisi kantor pakai pakaian lengkap, bahkan dalam panas yang lembab kemarin pagi itu banyak polisiwan berdasi dengan baju basah kuyup. Eh lha kok ada tamu bercelana pendek.

Begitulah, saya memang sering salah kostum. Celana pendek itu nyaman karena isis, dan murah karena harganya separuh celana panjang (begitu pula alasan saya berkaos: harganya separuh harga kemeja). Tapi situasi-kondisi-toleransi serta pandangan-jangkauan orang sekitar kadang tak menerimanya.

Mau niru Bob Sadino? Dia mah juragan kaya, lengan baju utuh dipotong, celana panjang pun mungkin begitu. Tapi dia pernah ditolak masuk gedung DPR gara-gara pakaiannya. :D

Di kantor lama saya juga sering bercelana pendek dan para juragan saya tak peduli — tapi iba pun tidak, buktinya mereka belum pernah belikan saya pantalon.

Kalau tamu tanpa perjanjian datang, dan menjumpai saya bercelana pendek, bahkan bersarung batik di kantor, wah… itu nasib dia.

Tentu, masalah kecil ada saja. Pernah, suatu malam, kami sekantor datang melayat ke sejawat yang neneknya wafat. Saya jadi si aneh. Pekerja tenda dan kursi sewaan pun tak bercelana pendek. Maka duduk di pojok gelap menjadi pilihan saya, demi kenyamanan masing-masing pihak.

Hampir jadi masalah tapi selamat ya waktu datang ke sebuah sekolah tempat saya jadi guru tamu untuk menemui guru resmi, dua bulan lalu. Untung sedang libur semesteran.

Jadi, selain isis dan ngirit, buat apa saya bercelana pendek? Kalau membanggakan kaki jelas bukan, karena kaki saya dekil dan mirip kaki meja (tanpa bulu), sudah begitu si dengkul hitam kapalan pula.

celana pendek zaman revolusiOh, mau bergaya retro seperti foto-foto Ipphos zaman revolusi ya? Nggak juga. Saya bukan orang revolusioner.

Nah, mau gegayaan kan? Walah, gaya apaan. Saya nggak fashionable. Ketika orang lain pada demen celana ala Jojon — saya sebut begitu karena panjangnya melebihi lutut — saya tetap bercelana pendek biasa.

Sebiasa apa? Ada yang bilang celana pendek saya kayak babah toko beras di kota kecil. Khaki yang bukan kargo.

Sebetulnya saya sudah mencoba bercelana panjang lagi supaya dianggap sopan. Tapi ya itu, sering lupa. Juga, kadung keenakan.

Tetangga dan sopir angkot mungkin mengira saya bekerja di toko bangunan. Ndak masalah. Tapi orang toko pernah menyangka saya juragan, dengan alasan yang biasa bercelana pendek hanya bos. Ini masalah. Saya ditawari barang-barang mahal. Kalau menawar kelewatan dibilang sok miskin.

© Foto: Ipphos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *