Kau tanya apakah aku ikuti sepakbola, maka kujawab tidak. Kau tanya seberapa sering aku tonton televisi, maka kujawab seminggu terakhir ini kalau ditotal tak sampai 30 menit.
Justru karena itu, katamu. Ternyata kau mau tahu pendapatku tentang monopoli siaran Liga Inggris.
Maka inilah kalau kau mau tahu. Kalau saja yang dipegang Astro itu bobsled atau rugby, atau bal-balan amrik, pasti tak akan ramai. Masalahnya, seakbola digemari banyak orang. Masalah berikut, tak semua orang melanggani TV berbayar — lebih khusus lagi tak semua orang melanggani Astro.
Sederhana, bukan? Oh tidak, katamu.
Ya, ya, ya, sepakbola kadung jadi hajat hidup orang banyak di Indonesia. Lain dengan golf dan menembak. Jika niat menonton terhalang maka banyak yang marah. Soal kapitalisme yang mendikte khalayak pun dibawa-bawa.
Jika bicara bisnis maka laga yang ditonton banyak orang adalah dagangan yang harus dilipatgandakan nilainya. Pemodal terkembalikan duitnya dalam jumlah lebih banyak. Atlet dan pelatih dan manajer dapat tambahan uang. Penyelenggara perhelatan menuai untung.
Apanya yang aneh? Tapi jangan gitu dong, katamu.
Kalau tak mau jadi korban dari showbiz tonton saja sepakbola dagelan antarwarga di lingkungan RT (bukan antar-RT) saat tujuhbelasan.
Jangan sinis dong, katamu.
Baiklah kukatakan. Untuk apa orang melanggani siaran TV berbayar kalau yang dilihatnya tak beda dengan TV biasa yang selalu diselingi iklan apa saja?
Bukan soal tak mau gotong royong, tapi siapa pun yang memegang hak siar akan menghitung mana yang lebih menguntungkan, dibagi bareng stasiun lain yang gratisan atau terus digenggam sendiri.
Ini bukan soal perusahaan asing atau dalam negeri. Ini soal bisnis. Kalau tak percaya tanyalah Veven. Jangan-jangan yang lebih sibuk mempersoalkan adalah stasiun TV yang tak mau kehilangan acara penangguk iklan.