THE ROYAL AT HEART, TAPI KADANG TAK TEPAT.
Mengamati seorang kasir kedai makanan tiada henti melayani pembeli, saya kagum juga.
Dia mencoba tetap sabar dan ramah. Dia juga harus berkoordinasi dengan teman di dapur dan pembawa baki, karena mereka berada dalam tim.
Ketika ada jeda sesaat, karena tak ada pembeli, dia mencoba bersandar dan ambil napas. Lalu dia mengelap keringat, karena AC kurang sejuk. Lantas pembeli datang lagi.
Di rumah saya sekarang pusing mengurusi juluran kabel di meja kerja.
Di eks-kantor saya tak mau pusing. Mas O-Be yang rajin itu akan menangani wiring serapi dan sefungsional dia memberesi meja saya, setepat dia memilihkan cangkir kesukaan saya untuk kopi maupun teh, dan gelas yang mana untuk air putih.
Saya merenung, andaikan saya jadi dia apakah dapat bekerja serapi dan secekatan itu?
Tak pernah saya ucapkan, tapi saya praktikkan, dalam menikmati layanan saya hanya bisa meminta dan menuntut.
Rasanya berlebihan jika saya hanya terpaku pada “Lha tugas dia emang itu, gimana lagi?”
Saya akui, di tempat yang sudah lama saya tinggalkan saya pernah khilaf. Dengan pongah, congkak, dan lajak saya mengajak seorang petugas yang waktu itu saya anggap ngeyel — karena dia bilang kalau tak puas silakan lakukan sendiri — untuk bertukar pekerjaan. Dia tersinggung. Mukanya merah. Otot lehernya menegang. Maafkan saya, Kawan.
Melayani. Bukan pekerjaan gampang. Dulu, awal 90-an, ada maskapai penerbangan baru di Jakarta — sayang tak jadi terbang, pesawatnya tetap di Singapura. Dalam merekrut pramugari dan pramugara, bos perusahaan itu mengutamakan pelamar dari kelas menengah ke bawah.
Alasannya, pelamar dari kalangan itu tak terbiasa dilayani seperti anak-anak kalangan atas. Tentu, ada saja pengecualian. Toh tak sedikit anak keluarga makmur yang dilatih untuk melayani diri sendiri.
Tetapi secara umum, ehm… kita semua kan memang ingin dilayani. Bisa berupa pelayanan wajar sebagai konsumen dan pembayar pajak, bisa juga pelayanan personal yang berlebih karena kita merasa telah membayar lebih. Ada raja dan ratu yang bersinggasana dalam hati kita — dalam pengertian yang melenceng.